Wagub Sebut Musiman, JATAM Kaltim Tegaskan Penyebab Banjir di Berau Imbas Aktivitas Tambang

1 day ago 6

BONTANGPOST.ID – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim merilis bantahan atas pernyataan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terkait penyebab banjir di Kabupaten Berau. Pernyataan Wakil Gubernur Aji Seno yang menilai bencana tersebut bukan dipicu aktivitas industri ekstraktif, dinilai JATAM sebagai penyederhanaan masalah yang menyesatkan publik.

Dinamisator JATAM Kaltim, Mustari Sihombing, menyatakan bahwa banjir tidak bisa dilepaskan dari jejak panjang kerusakan ekologis akibat pertambangan dan perkebunan. “Pernyataan bahwa banjir tidak berkaitan dengan industri ekstraktif itu jauh dari kenyataan dan mengabaikan bukti kuat di lapangan,” tegasnya.

Ia menilai narasi tersebut justru menutup mata dari kerusakan yang sudah terjadi bertahun-tahun. Data JATAM menunjukkan sedikitnya 94 konsesi tambang telah diterbitkan di Kabupaten Berau. Terdiri dari 93 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan satu konsesi berstatus PKP2B. Total luasnya mencapai sekitar 400 ribu hektare, sebuah gambaran bahwa bentang alam Berau telah terkoyak masif demi industri ekstraktif.

Dari jumlah itu, 20 konsesi berada tepat di sisi Sungai Segah dan Sungai Kelay, dua sungai utama yang menopang kehidupan masyarakat.

Kedekatan konsesi dengan sempadan sungai, kata Mustari, menghasilkan kerusakan ekologis berlapis. Hilangnya vegetasi penahan erosi, meningkatnya sedimentasi, dan turunnya kemampuan tanah menyerap air menjadi konsekuensi langsung.

“Saat hujan turun, debit air melonjak drastis. Banjir adalah akibat logis dari kebijakan izin yang tidak terkendali,” ucapnya.

Temuan lain menyebut tujuh dari 20 konsesi itu berada di hulu Sungai Kelai, zona paling vital dari keseluruhan sistem hidrologi Berau. Menggali tambang di hulu sungai, jelasnya, sama saja dengan merusak benteng utama pengatur air.

Tanpa penyangga alami, mekanisme pengendalian air runtuh dan banjir semakin sering terjadi. “Hulu rusak berarti seluruh ekosistem kehilangan kendali,” tambah Mustari.

Termasuk salah satu perusahaan pemegang PKP2B, juga hadir di sana, dengan konsesi sangat luas, semula 118.400 hektare dan dipangkas menjadi 78.004 hektare pada 2025.

Bentangan wilayah tersebut membentang dari hulu Sungai Kelai hingga Sungai Segah, membelah ruang hidup masyarakat dan mengubah fungsi ekologis dua sungai penting itu.

Analisis citra satelit terbaru yang dihimpun JATAM memperlihatkan pembukaan hutan berskala luas, pit tambang aktif, dan hilangnya tutupan vegetasi di berbagai titik hulu. Kondisi itu mengubah fungsi ekologis sungai, sedimentasi meningkat, kualitas air menurun, dan risiko banjir maupun kekeringan menjadi lebih ekstrem.

“Aktivitas tambang di hulu memperbesar ancaman longsor, air keruh, hingga potensi kontaminasi bahan kimia ke permukiman,” jelasnya.

Selain pertambangan, JATAM juga menyoroti keberadaan 60 izin perkebunan sawit di Berau. Pembukaan lahan masif memperparah gangguan daerah tangkapan air dan membuat lanskap kian rentan terhadap bencana.

Kombinasi ekspansi tambang dan sawit, menurut Mustari, telah mengubah Berau dari kawasan ekologis yang sehat menjadi daerah rawan banjir.

JATAM menegaskan banjir di Berau tak bisa disebut semata-mata akibat curah hujan tinggi. Mengabaikan kerusakan lingkungan adalah bentuk pengabaian terhadap penderitaan warga dan kegagalan memahami akar persoalan.

“Solusi tidak lahir dari penyangkalan, tetapi dari keberanian menghentikan ekspansi ekstraktif,” pungkas Mustari.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji mengatakan banjir yang melanda wilayah tersebut merupakan kejadian musiman yang sudah berlangsung puluhan tahun, hal itu disampaikan dalam apel siaga dan simulasi penanggulangan bencana hidrometereologi, Kamis (11/12).

“Kalau kami membaca situasi di sana, orang-orang mengatakan bahwa ini terjadi biasa tahunan setiap tahun dari 20-30 tahun yang lalu, artinya ini memang tidak ada relasinya dengan tambang,” ujarnya. (KP)

Print Friendly, PDF & Email

Read Entire Article
Batam Now| Bontang Now | | |