BONTANGPOST.ID – Bukan hanya karena dampak dari cuaca ekstrem. Bagi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, persoalan bencana di Kaltim tak bisa dilepaskan dari praktik korupsi di sektor pertambangan.
Yang telah mengakar dan meninggalkan jejak panjang berupa kerusakan lingkungan serta bencana berulang.
Dinamisator Jatam Kaltim Mustari Sihombing menegaskan korupsi di sektor pertambangan tidak sekadar soal kerugian negara, tetapi berkelindan dengan krisis ekologis yang langsung dirasakan masyarakat.
“Korupsi di pertambangan itu merusak ruang hidup warga. Ini bukan sekadar hitung-hitungan uang negara,” kata Mustari.
Ia menilai praktik korupsi tampak dari terbitnya izin cacat prosedur, dana jaminan reklamasi yang tak jelas, perpanjangan konsesi tanpa evaluasi, hingga pembiaran tambang ilegal. Semua itu, menurutnya, menunjukkan lemahnya pengawasan negara.
Catatan Jatam menyebut, hingga kini terdapat 1.735 lubang tambang batu bara di Kaltim yang belum direklamasi. Lubang-lubang tersebut dibiarkan terbuka dan menjadi ancaman ekologis jangka panjang.
“Itu bukan kelalaian. Itu bukti kebijakan yang memihak kepentingan korporasi, dengan pejabat yang menghamba pada uang,” ujarnya.
Situasi tersebut, kata Mustari, membuat masyarakat lokal selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. “Keuntungan tambang hanya dinikmati korporasi dan pelaku korupsi, bukan masyarakat,” tegasnya.
Isu kerusakan lingkungan kembali mencuat seiring banjir besar yang melanda Berau. Jatam Kaltim menilai bencana tersebut tidak berdiri sendiri sebagai fenomena alam, melainkan berkaitan erat dengan ekspansi tambang dan perkebunan sawit.
Berdasarkan temuan Jatam, terdapat 94 konsesi tambang di Berau, terdiri atas 93 IUP dan satu PKP2B, dengan total luasan sekitar 400 ribu hektare.
Dari jumlah tersebut, 20 konsesi berada di sepanjang Sungai Segah dan Sungai Kelay, dua sungai utama penopang kehidupan masyarakat.
“Hilangnya vegetasi dan rusaknya daerah resapan membuat debit air melonjak saat hujan. Itu sebabnya banjir makin sering dan makin parah,” ujar Mustari.
Sebagian konsesi bahkan berada di hulu Sungai Kelay, wilayah yang berfungsi sebagai pengendali alami aliran air. “Kalau hulunya rusak, banjir tinggal menunggu waktu,” katanya.
Sementara itu, Pemprov Kaltim memiliki pandangan berbeda. Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, menepis anggapan bahwa banjir di Berau dan Kutai Timur disebabkan aktivitas pertambangan.
Menurutnya, banjir tersebut merupakan kejadian tahunan yang telah berlangsung puluhan tahun. “Ini kejadian yang sudah biasa terjadi sejak lama,” ujar Seno, Kamis (11/12).
Pemprov Kaltim, lanjut Seno, telah menyiagakan peralatan dan berkoordinasi dengan BPBD kabupaten sejak awal kejadian.
Di Kutai Timur, banjir dilaporkan telah surut dan warga terdampak kembali ke rumah masing-masing.
Meski menolak keterkaitan langsung dengan tambang, Seno tetap meminta perusahaan bertanggung jawab terhadap pemulihan lingkungan pascabencana.
“Kita tahu tambang itu aktivitas yang merusak lingkungan. Maka perbaikannya harus dilakukan oleh perusahaan,” katanya. (rd)

















































