BONTANGPOST.ID – Taman Nasional Kutai kembali menjadi sorotan setelah terbongkarnya aktivitas ilegal yang melibatkan alat berat di dalam kawasan konservasi.
Tujuh unit ekskavator diamankan, empat orang diperiksa, dan publik kembali dikejutkan oleh fakta bahwa kawasan yang seharusnya dilindungi ketat justru terus dibobol.
Kasus ini bukan yang pertama, dan tampaknya bukan pula yang terakhir. Dari tahun ke tahun, Taman Nasional Kutai berulang kali menjadi sasaran penambangan, perambahan, hingga aktivitas tambak ilegal. Pertanyaannya, mengapa hal ini terus terjadi?
Jawabannya tidak sesederhana soal hukum semata. Ada kombinasi faktor geografis, luas kawasan, lemahnya pengawasan, hingga konflik kepentingan yang membuat TN Kutai berada dalam posisi rentan.
Taman Nasional Kutai; Luas, Kaya, dan Sulit Dijaga
Taman Nasional Kutai memiliki luas sekitar 192 ribu hektare, membentang di wilayah Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang, Kalimantan Timur.
Dilansir dari Balai TN Kutai dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kawasan ini terdiri dari hutan hujan tropis dataran rendah yang padat dan sulit dijangkau.
Luasnya wilayah ini menjadi tantangan besar. Dengan jumlah personel terbatas, mustahil bagi petugas untuk mengawasi seluruh kawasan setiap waktu. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan oleh pelaku aktivitas ilegal.
Akses Terbuka dan Dekat dengan Kawasan Industri
Secara geografis, TN Kutai berada di wilayah strategis yang dekat dengan permukiman, kawasan industri, dan jalur ekonomi.
Kondisi ini memudahkan akses alat berat masuk ke kawasan konservasi tanpa terdeteksi dalam waktu singkat.
Bagi pelaku, risiko sering kali dianggap lebih kecil dibanding keuntungan ekonomi yang ditawarkan.
Kekayaan Alam yang Menggoda
Di balik statusnya sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Kutai menyimpan kekayaan alam yang besar. Pasir, batuan, dan lahan potensial untuk tambak menjadi incaran oknum tak bertanggung jawab.
Dalam kasus terbaru, enam ekskavator diduga digunakan untuk penambangan galian C, sementara satu unit lainnya untuk pembuatan tanggul tambak.
Aktivitas ini jelas melanggar hukum, namun tetap nekat dilakukan karena nilai ekonominya tinggi.
Logika Untung-Rugi yang Keliru
Bagi sebagian pelaku, kawasan hutan dilihat bukan sebagai warisan ekologis, melainkan sebagai “lahan kosong” yang bisa dieksploitasi. Selama masih ada permintaan dan celah pengawasan, praktik ini akan terus berulang.
Minimnya Pengawasan, Bukan karena Lalai, tapi Terbatas
Pengawasan kawasan konservasi membutuhkan sumber daya besar, baik itu personel, kendaraan, teknologi, dan biaya operasional.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah petugas sering kali tidak sebanding dengan luas kawasan yang harus dijaga.
Hal ini bukan berarti negara abai, tetapi menunjukkan tantangan nyata dalam menjaga kawasan hutan seluas TN Kutai.
Penindakan Masih Bersifat Reaktif
Sebagian besar kasus baru terungkap setelah aktivitas ilegal berlangsung cukup lama. Artinya, penindakan masih bersifat reaktif, bukan pencegahan sejak awal.
Meski demikian, operasi gabungan yang dilakukan pada Desember 2025 menunjukkan adanya upaya serius untuk memperkuat pengawasan.
Konflik Kepentingan dan Tekanan Ekonomi
Tidak bisa dimungkiri, tekanan ekonomi di sekitar kawasan hutan turut memicu konflik. Sebagian masyarakat tergoda bekerja atau terlibat dalam aktivitas ilegal karena faktor ekonomi.
Namun, hal ini sering dimanfaatkan oleh aktor yang lebih besar, termasuk pemodal atau pihak berkepentingan, yang justru berada di balik layar.
Dugaan Keterlibatan Aktor Lebih Besar
Kepala Balai Penegakan Hukum Kehutanan Wilayah Kalimantan, Leonardo Gultom, menegaskan bahwa pihaknya akan menelusuri kemungkinan keterlibatan aktor lain, baik perorangan maupun korporasi.
“Kami akan mendalami dan ungkap aktor dan pelaku lain baik perorangan maupun korporasi yang terlibat dalam aktivitas ilegal ini,” ujar Leonardo, dikutip dari siaran pers yang diterima Kaltim Post (24/12).
Negara Hadir, Tapi Perjuangan Belum Usai
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menegaskan bahwa penindakan tegas adalah bagian dari tanggung jawab negara dalam menjaga kawasan hutan.
Kolaborasi antara Ditjen Gakkum Kehutanan, Balai TN Kutai, dan unsur TNI menjadi bukti bahwa negara tidak tinggal diam.
Ancaman Hukuman yang Berat
Pelaku terancam pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar, sesuai UU Kehutanan, UU Cipta Kerja, dan UU Perlindungan Lingkungan Hidup.
Tanpa pengawasan berkelanjutan, keterlibatan masyarakat, dan penegakan hukum yang konsisten, TN Kutai akan terus menjadi sasaran empuk aktivitas ilegal. (KP)

















































