BONTANGPOST.ID, Samarinda – Upaya Bareskrim Polri dalam mengungkap tindak pidana pertambangan ilegal yang merugikan negara di hutan Konservasi Tahura Bukit Soeharto, Samboja, Kutai Kartanegara, dinilai masih belum memuaskan publik.
Kinerja aparat disebut lambat, meskipun kasus ini telah berlangsung hampir satu dekade.
“Ya, sebenarnya kalau melihat dari durasi yang hampir satu dekade ya, hampir 10 tahun, baru diungkap dengan jumlah kerugian yang muncul saat ini. Itu menunjukkan bahwa kinerja kepolisian benar-benar sangat lambat sekali,” ungkap Dinamisator Jatam Kaltim, Mareta Sari, kepada Kaltim Post (induk Bontang Post), Jumat (18/7/2025).
Perempuan yang akrab disapa Eta itu menilai, aparat belum memuaskan publik lantaran hal-hal penting juga belum dibeberkan. Mulai dari pemilik izin usaha pertambangan (IUP) yang kabarnya digunakan dalam aktivitas ilegal tersebut.
Lalu menginisialkan tersangka yang membuat publik bertanya-tanya. Hingga pembeli batu bara ilegal sekaligus pembeli dalam mendistribusikannya juga menjadi pertanyaan.
“Inisial, atau aktor dibalik aktivitas tersebut, rasanya kita perlu mendesak untuk dimunculkan siapa orang-orang ini,” jelasnya.
Sebab, lanjut Eta, pengerukan batu bara ilegal di Kaltim terlalu marak. Bahkan diperkirakan di setiap wilayah diduga ada yang menjalanlan bisnis ilegal serupa.
Selanjutnya Eta menyinggung keterlibatan instansi yang disebutkan Bareskrim. Antara lain, petugas KSOP Kelas I Balikpapan, pihak PT Kaltim Kariangau Terminal Balikpapan, agen pelayaran, perusahaan pemegang IUP, hingga jasa transportasi dan ahli dari Kementrian ESDM.
”Batu bara dari tambang ilegal ini kemudian dilegalkan dengan dokumen yang dibuat seolah-olah berasal dari tambang resmi. Ini yang disebut sebagai dokumen terbang,” timpal Eta.
”Dari dulu kami mempertanyakan, bagaimana batu bara ilegal bisa dicuci dan berubah menjadi legal. Bahkan diduga dikonsumsi oleh industri besar, termasuk perusahaan negara. Apakah batu bara itu benar-benar berasal dari tambang resmi?” tambahnnya.
Menurut catatan Jatam, laporan mengenai jalur distribusi batu bara sudah pernah diajukan ke Bareskrim pada 2022 silam. Jatam menduga adanya pelabuhan kecil dan jeti tak resmi di sekitar Sungai Mahakam; Tenggarong, dan Loa Kulu, yang aktif digunakan untuk pengangkutan batu bara tanpa izin.
”Struktur persoalannya bukan hanya di lokasi tambang, tetapi juga pada seluruh jalur distribusinya. Dari penggalian hingga barang itu dikonsumsi,” kata Mareta.
Bagian lainnya, Eta juga mengingatkan kembali soal isu yang berhembus di kepemimpinan presiden Joko Widodo. Di mana, kala itu Eta mendengar bahwa pemerintah pusat hendak membentuk satuan tugas (satgas) pemberantasan tambang ilegal di Ibu Kota Nusantara.
“Itu sekitar di 2-3 tahun pertama Jokowi sempat bikin sargas. Nah itu bagaimana prosesnya juga menjadi penting untuk dilihat. Jadi kejadian ini sebuah sinyal dorongan lebih kuat lagi kepada kepolisian untuk segera menungkap,” bebernya.
Jata menilai, kasus di Samboja hanya sebagian kecil dari persoalan besar tambang ilegal di Kaltim. Mereka meminta agar kepolisian mengusut secara menyeluruh dan menjelaskan siapa aktor utama di balik praktik yang berlangsung selama hampir 10 tahun ini.
“Publik berhak tahu siapa yang bermain. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga menyangkut kerugian negara dalam jumlah besar, termasuk pembeli batu bara itu menjualnya kemana? Apakah ke PLN, atau PLTU yang juga membutuhkan batu bara,” tukasnya. (kpg)