Sosok Dika ‘Aura Farming’ Anak yang Tariannya Viral di Lomba Pacu Jalur

1 day ago 6

TEMPO.CO, Jakarta – Sosok anak kecil bernama Dika tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial, khususnya di platform video pendek TikTok. Namanya mencuat lewat tren viral bertajuk Aura Farming, yang menampilkan gerakan khas seorang anak menari di atas perahu dalam ajang olahraga tradisional mendayung Indonesia, Pacu Jalur.

Tren ini meraih perhatian dunia setelah akun resmi klub sepak bola asal Prancis, Paris Saint-Germain (PSG), mengunggah video selebrasi para pemainnya yang menirukan gerakan khas Dika. “Auranya sampai ke Paris,” tulis keterangan dalam video tersebut, Rabu, 2 Juli 2025.

Tak hanya PSG, maskot klub Italia AC Milan juga ikut meramaikan tren ini. Dengan gaya humoris, mereka menulis, “Aura Farming 1899% accuracy,” sambil menirukan gerakan tari yang sama.

Kepopuleran tren ini tak berhenti di situ. Rapper ternama KSI juga ikut menarikan gaya khas anak Indonesia tersebut, menambah panjang daftar figur internasional yang tersentuh ‘aura’ tarian Dika. Bahkan Travis Kelce, bintang NFL sekaligus kekasih Taylor Swift juga menggunakan tarian Dika setiap berhasil touchdown. Ia mengunggah video Dika yang dikompilasikan dengan aksinya. “Auranya sudah dibudidayakan,” tulisnya. 

Fenomena ini pun menyebar luas di TikTok, dengan ribuan pengguna dari berbagai belahan dunia, mulai dari influencer, pelajar, hingga akun resmi perusahaan, ikut serta dalam tren tersebut. Lantas, siapa sebenarnya Dika yang dijuluki ‘Aura Farming’ oleh warganet? Simak informasinya berikut ini.

 Dika ‘Aura Farming’ di lomba Pacu Jalur di Riau. Foto: TikTok

Sosok Dika ‘Aura Farming

Sosok anak kecil yang viral lewat tren Aura Farming di TikTok ternyata adalah Rayyan Arkan Dikha, atau yang akrab disapa Dika. Anak berusia 9 tahun ini berasal dari Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, dan merupakan penari Pacu Jalur—olahraga tradisional mendayung—untuk tim dayung Tuah Koghi.

Dalam sebuah video yang diunggah akun TikTok KITA GROUP IDN, diketahui bahwa Dika mulai menari di ajang Pacu Jalur sejak 2024, menggantikan posisi kakaknya yang kini menjadi salah satu pemacu atau pendayung perahu. Penampilannya yang energik dan penuh ekspresi membuat Dika cepat dikenal di internet. Warganet bahkan menjulukinya sebagai “black shirt on boat” atau “baju hitam di atas perahu”, karena gaya khasnya saat menari mengenakan pakaian adat Melayu berwarna hitam lengkap dengan kacamata hitam

Popularitas Dika menembus batas negara. Dia pun diwawancarai oleh influencer asal Amerika Serikat, Cullen Honohan, lewat akun media sosial All Hail Cullen. Dalam wawancara itu, Cullen menyebut bahwa Dika dijuluki “The Reaper”, karena dianggap mampu “mengambil jiwa” lawan-lawannya lewat penampilan menarinya yang penuh semangat. Mendengar itu, Dika dengan polos menjawab bahwa ia senang dengan julukan tersebut.

Cullen juga sempat menanyakan bagaimana rasanya menari di ujung perahu yang melaju kencang. Dengan percaya diri, Dika menjawab singkat, “Tetap berani dan percaya diri.” Meski begitu, ia dengan rendah hati mengakui bahwa dirinya bukanlah penari Pacu Jalur terbaik, karena masih ada orang lain yang, menurutnya, lebih hebat darinya. Kini, nama Dika tak hanya dikenal di Kuansing, tapi juga mendunia sebagai simbol semangat budaya lokal yang membanggakan.

Tentang Pacu Jalur

Mengutip laman resmi kuansing.go.id, tradisi Pacu Jalur memiliki akar sejarah yang panjang. Pada abad ke-17, jalur—perahu panjang tradisional—digunakan oleh masyarakat desa di sepanjang Sungai Kuantan sebagai alat transportasi utama. Sungai ini membentang dari Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu, jalur mampu mengangkut 40 hingga 60 orang dan kerap digunakan untuk membawa hasil bumi seperti pisang dan tebu.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai menggelar perlombaan adu kecepatan antar jalur, yang kemudian dikenal dengan nama Pacu Jalur. Awalnya, lomba ini digelar untuk memperingati hari besar umat Islam. Namun, pada masa penjajahan Belanda, tradisi ini dimanfaatkan untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap 31 Agustus. Setelah Indonesia merdeka, Pacu Jalur menjadi bagian dari rangkaian perayaan Hari Kemerdekaan setiap bulan Agustus.

Perlombaan biasanya berlangsung selama dua hingga tiga hari, tergantung jumlah jalur yang berpartisipasi. Jalur sendiri dibuat dari satu batang pohon utuh dan bisa mencapai panjang 25 hingga 40 meter, dengan kapasitas 45–60 pendayung atau anak pacu.

Setiap perahu jalur memiliki formasi kru yang unik. Ada tukang concang (pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang tari (penari yang memberikan semangat dan atraksi), dan tukang onjai (penjaga irama di buritan dengan menggoyangkan badan). Mereka tampil dengan kostum penuh warna yang mencuri perhatian. Suara dentuman meriam, teriakan penyemangat, serta gemuruh sorak penonton semakin menambah semarak budaya lokal yang sarat makna ini.

Source link

Read Entire Article
Batam Now| Bontang Now | | |