BONTANGPOST.ID, Bontang – Praktik bullying atau perundungan masih menjadi ancaman serius di kalangan pelajar. Dampaknya tidak hanya dialami oleh korban, tetapi juga oleh pelaku, baik secara sosial maupun hukum.
Hal ini diungkapkan Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Sintang, Diva Nur Annisa, yang menegaskan bahwa perundungan merupakan tindakan yang bisa dijerat undang-undang perlindungan anak.
“Ada undang-undang yang melindungi anak dari bullying. Pelaku bisa ditegur, diproses di sekolah, bahkan dibawa ke ranah hukum jika kasusnya parah,” ujar Diva di Sintang.
Ia menjelaskan, bullying bisa terjadi dalam berbagai bentuk: fisik, verbal, sosial, maupun siber. Karena itu, peran guru dan orang tua sangat penting dalam pencegahan. “Kami mengingatkan agar pelajar jangan melakukan bullying, dan jangan diam jika melihatnya. Berani bicara kepada guru, orang tua, atau pihak berwenang adalah bentuk keberanian yang benar,” tegasnya.
Senada dengan Diva, dr. Yohanes, dokter spesialis kejiwaan dari Rumah Sakit Jiwa Sudiyanto Sintang, menuturkan bahwa bullying terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban.
“Kalau kekuatannya setara, itu kenakalan. Tapi kalau pelaku jelas lebih dominan dan korban tidak mampu membela diri, itulah bullying,” ujarnya.
Ia menyebutkan, dampak perundungan mencakup kerusakan fisik, tekanan mental, dan kerugian sosial.
“Menurut data UNICEF, dua dari tiga anak usia 13–17 tahun pernah mengalami bullying. Sebanyak 41 persen anak mengaku pernah dirundung, karena bentuknya memang sangat beragam,” jelasnya.
Tindakan bullying bisa berupa; memukul, menendang, atau merampas barang. Selain itu tindakan peruntungan juga berupa mengejek, menghina, atau melontarkan ujaran rasis. Termasuk mengucilkan dari kelompok, serta menyebarkan rumor di dunia nyata maupun media sosial.
Korban sering kali menarik diri, merasa takut, malu, bahkan trauma, sementara pelaku cenderung menunjukkan keinginan untuk menguasai dan mendominasi. Yohanes juga mengingatkan bahwa dalam kasus perundungan selalu ada pengamat (bystander).
“Mereka bisa ikut membully, membela korban, atau jadi penonton pasif. Padahal, sikap diam itu memperparah. Semua pihak harus sadar dan berani mengambil sikap,” pungkasnya. (nda)