BONTANGPOST.ID- Gerakan sosial saat ini punya tren yang aneh. Cepat besar, cepat pula redupnya. Represif aparat di setiap aksi kerap jadi alasan suara perlahan mengecil.
Padahal luka kolektif seperti itu, mestinya jadi vitamin yang mendorong gerakan beradaptasi, bukannya malah bikin impoten.
Tema itu beredar dalam kuliah umum bertajuk “Dari Represi ke Resiliensi: Gerakan Rakyat dalam Bayang Kekerasan Negara” yang digelar FISIP Unmul, Rabu, 17 September 2025.
Bagi anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah, menjadikan mahasiswa motor utama juga jadi biang keladi gampang kempisnya gerakan.
“Konsistensi mereka labil. Sebagai pendobrak tepat. Tapi inti gerakan harus tetap berada di masyarakat, buruh, petani, hingga masyarakat sipil,” katanya dalam acara itu.
Hal itu disebutnya dengan alasan, perjuangan petani, buruh, atau masyarakat sipil jauh lebih konsisten ketimbang gerakan yang bersuara lewat corong mahasiswa. Aksi 1 September lalu di Samarinda, lanjut pria yang akrab disapa Castro ini, bisa jadi contoh konkret.
Aksi 18+7 di nasional lamban disambut mahasiswa di Kaltim, gejolak akhir Agustus baru menyeruak awal September. Itu pun langsung mati suri seketika aksi usai.
Kelompok mahasiswa yang jadi motor penggerak malah mesra merapat ke aparat beberapa hari berselang. Lewat sebuah acara bakti sosial dengan tetap membawa anasir aksi.
“Kan lucu, yang dikritik represifnya aparat tapi malah mesra kemudian. Seperti Sindrom Stokholm, korban malah jatuh cinta dengan pelaku,” katanya menyatire.
Cerita berbeda ketika buruh, petani, atau masyarakat sipil yang menjadi inti gerakan. Mereka malah bisa jauh lebih konsisten bahkan kerap menyajikan gerakan dengan orang yang sama bahkan bertahun-tahun.
Sementara mahasiswa, hari ini teriak bagaimana melawan monster. Esok harinya malah mereka yang menjelma jadi monsternya.
“Kalau tidak bisa ke jalan. Tetap ribut di berbagai peranti. Medsos, tulisan, atau diskusi. Konsistensi memang barang mewah. Tapi justru itu yang bisa menjaga gerakan tetap hidup,” jelasnya.
Refinaya dari Perempuan Mahardika Samarinda menekankan tentang trauma dari represifnya aparat di masyarakat. Terutama bagi perempuan-perempuan yang berlawan. Dan solidaritas jadi obat memulihkannya.
Romo Roedy Hardjo Wiyono, budayawan Kaltim, menutup kuliah umum dengan tafsir mendalam. Kata dia, represi bukan sekadar membungkam kritik. Tapi juga mengekang kemanusiaan. “Membuat setiap orang takut menjadi diri sendiri,” katanya.
Dan dia percaya seni acapkali menemukan jalan melepas belenggu tersebut. Entah lewat puisi, musik, atau teater bisa jadi bahasa perlawanan rakyat.
“Kata-kata dan pengetahuan selalu jadi senjata ampuh melawan rezim penindas,” ucapnya mengakhiri. (kpg)