BONTANGPOST.ID, Samarinda – Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HMPS) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman, mengeluarkan keterangan pers terkait sejumlah tuduhan diarahkan terhadap mereka.
HMPS membantah keras tuduhan keterlibatan mahasiswa Pendidikan Sejarah dalam upaya aksi anarkis.
Pertama, kepemilikan bom molotov. Mereka menilai tuduhan ini tidak berdasar dan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap gerakan mahasiswa.
“HMPS menegaskan, pihaknya selama ini selalu menjunjung nilai intelektual dan moral dalam setiap gerakan mahasiswa, sehingga tuduhan terkait tindakan anarkisme dinilai sebagai fitnah keji,” tegas Badan Pengurus Inti (BPI) HMPS melalui siaran pers pada Senin (1/9/2025).
Kedua, menanggapi isu terkait logo PKI yang ditemukan di sekretariat himpunan. HMPS menyebut, keberadaan logo tersebut murni kepentingan diskursus akademik, dalam rangka edukasi kesejarahan bagi mahasiswa baru pada tahun 2024. Mereka menegaskan hal ini bukan untuk menyebarkan ideologi terlarang.
Hal ini dibuktikan dengan adanya materi dan logo organisasi pergerakan lainnya seperti Sarekat lslam, Indische Partij, PNI, dan PSI.
“Menjadikan materi pendidikan sebagai alat bukti kejahatan adalah bentuk nyata pemberangusan kebebasan mimbar akademik dan merupakan serangan terhadap nalar kritis yang menjadi ruh utama dunia pendidikan tinggi,” terangnya.
Ketiga, mengenai kepemilikan smoke bomb,
kata mereka, hal ini adalah sebuah kekeliruan fatal dan penyesatan informasi jika smoke bomb (bom asap).
Barang tersebut merupakan properti yang telah mereka gunakan untuk memeriahkan acara seremonial penutupan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) Program Studi pada hari Sabtu, 30 Agustus 2025 lalu
“Bukan sebagai persiapan untuk aksi kekerasan,” jelasnya.
Keempat, mengenai kehadiran aparat di lingkungan kampus, pihaknya menegaskan bahwa segala tindakan penggeledahan, penyitaan, dan intervensi yang dilakukan oleh aparat di dalam lingkungan kampus, tanpa izin dan prosedur yang sah dari pimpinan universitas, adalah pelanggaran berat terhadap otonomi kampus.
Menurut HMPS kampus adalah ruang sipil akademik yang harus steril dari intervensi dan intimidasi pihak eksternal, termasuk aparat keamanan.
Tindakan represif semacam ini tidak hanya mencederai independensi institusi pendidikan, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan yang mengancam kebebasan berpikir dan berekspresi seluruh sivitas akademika.
“Kami menuntut agar otonomi kampus dihormati sepenuhnya sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang,” tutur mereka.
Kelima, yakni Fasilitas kampus fasilitas kampus Banggeris yang buruk. Utamanya tidak ada CCTV dalam kampus tersebut. Ditambah Pagar yang tidak kokoh, pencahayaan kampus yang kurang, keamanan yang buruk, hingga aparat bisa masuk.
Seharusnya hal-hal ini dapat dihindari jika fasilitas yang dijanji-janjikan oleh kampus sudah di berikan.
Keamanan yang kurang tegas dalam melindungi ranah intelektual menjadi perhatian khusus untuk segera dibenahi.
“Agar tidak ada lagi aparat yang bisa masuk ke ranah intelektual,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Polresta Samarinda mengamankan 22 mahasiswa Universitas Mulawarman bersama 27 bom molotov yang diduga akan digunakan saat aksi.
Kapolresta Samarinda Kombes Pol Hendri Umar mengatakan, temuan itu berawal dari informasi intelijen yang diperoleh aparat pada Minggu (31/8) malam.
Polisi bersama TNI dan pihak rektorat Unmul kemudian menindaklanjuti laporan tersebut.
“Sekitar pukul 23.00 Wita, kami mendatangi lokasi di Jalan Bangeris, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Sungai Kunjang, tepatnya di area Kampus FKIP Unmul.
Dari situ kami mengamankan 22 orang mahasiswa dan 27 bom molotov beserta bahan bakunya, seperti jeriken berisi pertalite dan potongan kain,” ujar Hendri, Senin (1/9). (Dwi Kurniawan Nugroho)