Asap Hitam dari RSUD Bontang; Abaikan Kesehatan, Izin Dilanggar

8 hours ago 4

RSUD Taman Husada Bontang nekat mengoperasikan insinerator tanpa restu kementerian. Tak hanya melanggar peraturan, aktivitas pembakaran limbah medis itu juga mengancam kesehatan warga Kampung Gotong Royong. Di sisi lain, Dinas Lingkungan Hidup selaku pengawas justru terkesan melakukan pembiaran terhadap aktivitas ilegal yang telah berlangsung selama setahun terakhir ini.

***

HARI hampir berganti saat Marlin keluar rumah dengan terburu-buru. Kedua tangannya membopong bocah lelaki lima tahun. Keriuhan dari dalam rumah tak dihiraukannya. Fokusnya hanya satu. Secepatnya membawa sang anak ke rumah sakit.

Raut cemas terpancar jelas di wajah lelahnya. Selaras dengan pikirannya yang penuh tanya akan kondisi kesehatan sang anak. Rumah perempuan baya ini berada persis di samping RSUD Taman Husada Bontang, sehingga hanya membutuhkan beberapa menit untuk sampai di Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Dengan langkah lebar dan tergesa-gesa, Marlin menghampiri seorang petugas yang berada tepat di depan pintu IGD. Napas terengah-engah menguar darinya saat menjelaskan kondisi sang anak yang tengah tergolek lemas dalam dekapannya.

Setelahnya semua berlangsung cepat. Anak bungsu Marlin langsung menjalani pemeriksaan. Hingga perkataan dokter menampar kesadaran Marlin yang kala itu berdiri persis di samping brankar sang anak.
“Ini akibat terpapar asap terus-terusan,” ucap Marlin menirukan ucapan dokter kala itu.

Menurut Marlin, saat itu dokter menyarankan agar anak bungsunya menjalani rawat inap. Guna memudahkan proses pemeriksaan dan pemulihan. Mengingat gejala yang dialami oleh anaknya cukup parah. Yakni, batuk terus menerus hingga sesak napas.

Selain itu, kata Marlin, belakangan hasil rontgen terhadap paru anaknya juga menunjukkan kondisi yang tidak bagus. Dokter pun mendiagnosis anak bungsunya menderita infeksi paru-paru.

Perkataan dokter tersebut membuat Marlin seperti dejavu. Mengingat hal serupa turut disampaikan dokter pada pemeriksaan sebelumnya, medio Mei 2025.

“Itu kali kedua. Jadi dalam sebulan dua kali anak saya dirawat dengan penyakit yang sama,” kata Marlin saat ditemui di kediamannya pada Selasa sore, 2 September 2025.

Marlin, 42 tahun, adalah warga Kampung Gotong Royong, RT 49, Kelurahan Belimbing, Kecamatan Bontang Barat. Ia bersama sang suami telah tinggal di kawasan ini lebih dari sepuluh tahun.

Menurut ibu empat anak ini, anak bungsunya kerap menderita batuk hingga sesak napas sejak setahun terakhir. Bertepatan saat manajemen RSUD Taman Husada memindahkan insinerator lebih dekat dengan permukiman warga.

Insinerator adalah alat yang berfungsi membakar limbah padat pada suhu yang tinggi untuk mengurangi volume limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Marlin mengaku, asap hitam tebal dengan aroma tak sedap menjadi santapan rutin keluarganya beserta warga lainnya setiap kali insinerator itu beroperasi.

Jika insinerator sedang beroperasi, Marlin terpaksa harus menutup seluruh pintu dan jendela. Lantaran asap tebal yang berasal dari insinerator bakal merangsek masuk memenuhi seluruh sudut rumah.

Kondisi ini memaksa Marlin harus menyuruh anak-anaknya untuk bermain di dalam rumah. “Selain sesak napas, kalau kena mata juga perih,” jelasnya sembari menatap cerobong insinerator dari halaman rumahnya.

Tak hanya itu, residu pembakaran limbah medis itu juga turut menempel di pakaian. Meninggalkan bercak hitam yang sulit dihilangkan.

Dijelaskan Marlin, semula alat insinerator itu beroperasi setiap sore hari. Namun, usai ditegur oleh warga sekitar pengoperasian alat itu berganti menjadi malam hari. “Mungkin takut kami video, kalau sore kan asap hitamnya terlihat jelas.”

Setali tiga uang dengan Marlin, penyakit batuk hingga sesak napas juga sering menyerang dua anak Linda Rombe, masing-masing berusia empat dan enam tahun.

Linda mengisahkan, saat dibawa ke puskesmas kedua anaknya didiagnosis menderita flu intensitas berat. Penyebabnya karena sering menghirup asap. Kendati demikian, pihak puskesmas hanya meminta agar kedua anaknya menjalani kontrol rutin dan diuap.

“Saya bilang tinggal dekat RSUD samping alat pembakaran, terus dokter bilang itu bisa jadi faktor anak saya sakit,” jelasnya.

Pekan lalu, kata Linda, sang suami dan dua rekannya mendatangi tempat pembakaran limbah medis RSUD Taman Husada. Di sana mereka meminta petugas untuk menghentikan aktivitas pembakaran karena asap hitam dan bau tajam menyergap 15 rumah yang berdiri tepat di samping rumah sakit plat merah itu.

Saat itu petugas langsung menghentikan aktivitas pembakaran. Namun, keesokan harinya RSUD kembali mengoperasikan insinerator. Seolah keluhan warga tidak pernah ada.

“Klaim mereka (RSUD) selalu aman. Tapi, kenapa warga banyak yang sakit? Ini kan sangat menjengkelkan,” katanya dengan nada tinggi.

Kondisi serupa juga dialami oleh Yohana Sattu. Ditemui pada Sabtu, 30 Agustus 2025, perempuan lanjut usia yang rumahnya berlokasi kurang 50 meter dari insinerator ini mengaku sering mengidap batuk dan flu sejak setahun belakangan.

Mirisnya, dalam sebulan penyakit tersebut bisa menyerang dirinya hingga dua kali.
Tak hanya dirinya, penyakit langganan itu juga turut menyerang sang cucu hingga harus bolak balik puskesmas untuk menjalani perawatan. Selain diberi obat pereda sakit, tak jarang cucu Yohana harus menjalani tindakan uap karena banyaknya dahak.

“Setahun terakhir sejak corong pembakaran itu diletakkan di samping permukiman kami jadi sering sakit,” ungkapnya.

Selain membawa penyakit, kata Yohana, aktivitas pembakaran limbah medis yang dilakukan oleh RSUD perlahan turut menghilangkan budaya bercengkrama warga sekitar, yang kerap dilakukan di teras rumahnya saat malam hari. “Karena asap pekat hitam biasanya muncul sekitar pukul delapan malam,” sebutnya.

Menurut Yohana, awalnya alat pembakaran limbah itu terletak di belakang Gedung B atau Bengkirai RSUD. Kala itu, asap tebal tidak pernah sampai ke rumah mereka. Namun, akhirnya alat itu dipindah setelah menerima banyak komplain dari pasien akibat bau yang sangat menyengat.

“Kalau pasien mereka (RSUD) menolak, kami warga juga berhak menolak. Harusnya alat itu tidak ditempatkan di sana,” keluh Yohana.

Ketua RT 49, Kelurahan Belimbing, Salmiah, mengaku keluhan soal dampak pengoperasian alat insinerator RSUD acap kali disampaikan warganya yang bermukim tepat di samping RSUD.

Bahkan setiap insinerator itu beroperasi ponselnya tidak berhenti berdering. Sementara di grup WhatsApp RT, warga terdampak mengirimkan bukti video maupun foto yang menunjukkan asap hitam pekat muncul dari cerobong insinerator RSUD.

“Kalau anginnya kencang asapnya kadang sampai sini juga, tapi yang paling terdampak memang warga yang tinggal di samping RSUD. Apalagi di sana ada sekitar 10 balita,” ujarnya.

Perempuan berhijab ini menyebut, sejak alat pembakaran itu dipindah lebih dekat dengan permukiman warga, pihak RSUD belum pernah melakukan sosialisasi ke masyarakat. Pun berbagai keluhan yang disampaikan warga ke petugas pembakaran limbah juga tidak pernah direspons oleh manajemen rumah sakit.

Mewakili warganya, Salmiah berharap pihak RSUD bisa bertanggung jawab dengan dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pembakaran limbah. Utamanya soal kesehatan warga yang semakin terancam.

Lokasi insinerator milik RSUD Taman Husada Bontang. Jaraknya tidak memenuhi syarat Peraturan Menteri LHK, yakni 300 meter dari permukiman.

***

Keluhan warga terhadap insinerator RSUD Taman Husada juga sampai ke telinga tokoh masyarakat Kampung Gotong Royong yang juga merupakan anggota DPRD Bontang, Jonni Alla Padang.

Menurutnya asap hitam tebal yang dihasilkan insinerator menunjukkan proses pembakaran yang tidak sempurna. Hal ini berpotensi mengandung zat berbahaya seperti dioksin, furan, dan partikulat. Selain itu, pencemaran udara akibat insinerator juga dinilai bisa menambah beban lingkungan di Bontang.

“Segera hentikan (pengoperasian insinerator) hingga ada perbaikan teknis dan izin resmi,” katanya, Rabu, 3 September 2025.

Ditekankan JAP, sapaannya, setiap pengoperasian fasilitas pengelolaan limbah medis wajib memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, baik dari Kementerian Lingkungan Hidup maupun dinas teknis terkait.

“Pengoperasian tanpa izin merupakan pelanggaran yang tidak bisa ditoleransi,” sebutnya.

Oleh karena itu, JAP mendesak RSUD untuk menghentikan sementara pengoperasian insinerator hingga izin lengkap. Juga mendorong Pemkot Bontang melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk melakukan evaluasi teknis dan audit lingkungan.

“Saya memahami kebutuhan RSUD dalam mengelola limbah medis, namun kepentingan kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas utama.”

Berdasarkan data Puskesmas Bontang Barat yang melayani Kampung Gotong Royong, penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masuk tiga besar penyakit terbanyak yang menjangkit masyarakat Bontang Barat pada 2024.

Sementara itu, menukil data dari situs resmi Puskesmas Bontang Barat hingga pekan ke-21 tahun ini, ISPA masuk empat jenis penyakit menular berpotensi KLB/wabah yang dilaporkan ke dalam Sistem Kewaspadaan dan Respons (SKDR) dengan jumlah mencapai 62 kasus. Angka ini lebih tinggi atau mengalami peningkatan dari pekan sebelumnya yang mencapai 45 kasus.

Kepala Puskesmas Bontang Barat, Muhammad Irzal Wijaya menyebut penyakit yang berkaitan dengan saluran pernapasan tidak hanya disebabkan imunitas tubuh yang menurun, tetapi juga akibat paparan asap berlebih.

“Terpapar asap berkepanjangan dapat memicu iritasi pada saluran pernapasan,” katanya saat ditemui, Senin, 8 September 2025.

Peringkat Merah 

Pemkot Bontang punya alasan kuat menghentikan pengoperasian insinerator. Alat itu dioperasikan RSUD Taman Husada secara ilegal. Tanpa mengantongi izin Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Manajemen RSUD Taman Husada berdalih alat itu difungsikan atas inisiatif mereka sendiri. “Meski belum berizin tapi kami rutin melakukan uji emisi dan melaporkan hasilnya ke kementerian (KLH),” kata Kepala Bagian Umum dan Sumber Daya Manusia RSUD Taman Husada, Andiga Mufti Kuswardani, yang ditemui Kamis, 4 September 2025.

Andiga mengklaim, hasil uji emisi yang dilakukan pihaknya per semester masih sesuai baku mutu. Uji emisi itu menggandeng laboratorium di Balikpapan yang diakuinya telah terakreditasi. Kendati demikian, dirinya mengaku tidak mengetahui pasti nama laboratorium tersebut. “Selama (insinerator) beroperasi malah tidak pernah hasilnya buruk (uji emisi),” klaimnya.

Andiga juga mengklaim, pengoperasian insinerator dilakukan demi menghindari penumpukan sampah medis yang dinilai bakal berdampak pada pelayanan rumah sakit. Termasuk pula demi menekan biaya pengelolaan limbah medis ketimbang menyerahkannya pada pihak ketiga.
Kendati demikian, Andiga mengklaim jika saat ini proses perizinan tengah berjalan.

“Saat ini tinggal menunggu pihak kementerian (KLHK) visitasi ke sini (RSUD),” katanya.

Dijelaskan Andiga, sebelumnya RSUD sudah memiliki insinerator berizin yang telah digunakan sejak RSUD berdiri hingga 2024. Namun, kini alat tersebut sudah tidak beroperasi dan digantikan dengan insinerator baru. Alat pembakaran limbah medis baru milik RSUD tersebut dibeli pada 2023 dengan kapasitas mencapai 200 kilogram.

Dari penelusuran di laman Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Kota Bontang, yang diakses Rabu, 3 September 2025, RSUD membeli insinerator pada Oktober 2023 melalui metode e-Purchasing dengan nilai mencapai Rp 2 miliar rupiah lebih. Namun, pada laman rincian paket pengadaan nama penyedia tidak dicantumkan alias tidak diketahui.

Sementara itu, tentang kemungkinan penghentian pengoperasian insinerator hingga izin keluar, Andiga mengaku sulit untuk melakukannya. Menurutnya, RSUD akan kesulitan mengelola limbah medis tanpa insinerator. Lantaran dalam sehari mereka bisa menghasilkan limbah medis mencapai 80 kilogram. Setara 29,2 ton per tahun.

Angka itu, ucap Andiga, belum mencakup sampah medis dari fasilitas kesehatan lain. Mengingat, RSUD juga menerima limbah medis dari Dinas Kesehatan, beberapa klinik dan rumah sakit swasta yang ada di Bontang.

Kendati demikian, Andiga menyebut, RSUD telah menyetop sementara pengelolaan sampah medis dari fasilitas kesehatan lainnya. Buntut dari peringkat merah dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Properlink) Daerah Kalimantan Timur.

Diketahui, peringkat merah yang diraih oleh RSUD merupakan imbas dari pengoperasian insinerator yang belum memiliki izin. “Sekitar dua bulan yang lalu kami sudah setop menerima limbah medis dari pihak lain,” ujarnya.

Diungkapkan Andiga, fasilitas kesehatan yang melakukan pengelolaan limbah medis di insinerator milik RSUD dikenakan biaya. Itu dilakukan karena tingginya biaya operasional pengoperasian insinerator.

Dalam setahun RSUD bisa mengeluarkan Rp 500 juta rupiah hanya untuk bahan bakar.
Berdasarkan dokumen tarif pelayanan RSUD Taman Husada 2024 yang kami peroleh, tarif yang ditetapkan untuk pembakaran sampah medis per kilogramnya bervariasi.

Tergantung berat sampah yang dibakar di setiap bulannya. Pada dokumen tersebut dijabarkan jika besaran tarif pembakaran sampah medis dibagi menjadi lima kategori. Dengan biaya terendah sebesar Rp16 ribu rupiah dan tertinggi senilai Rp24 ribu rupiah per kilogramnya.

Pada kesempatan yang sama, Andiga turut menepis tudingan warga terkait polusi udara dari pengoperasian insinerator. Dalam pengakuannya, Andiga mengklaim asap yang dikeluarkan dari aktivitas pembakaran limbah medis tidak berwarna hitam pekat.

Meski begitu, Andiga menyebut asap hitam pekat memang bisa keluar dari cerobong insinerator karena beberapa faktor. Di antaranya, karena adanya endapan air. Hingga obat-obatan yang telah kadaluarsa. “Selama yang saya lihat asap dari insinerator RSUD selalu berwarna putih,” akunya.

Disinggung mengenai lokasi insinerator baru RSUD yang hanya berjarak kurang 50 meter dari permukiman warga. Sementara dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) 6/2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mewajibkan lokasi insinerator minimal berjarak 300 meter dari permukiman, Andiga memberikan penjelasan panjang, namun enggan untuk dikutip.

Di sisi lain, Andiga turut mengakui jika selama insinerator baru milik RSUD tersebut beroperasi, pihaknya belum pernah melakukan sosialisasi ke warga sekitar. Pun dengan pemeriksaan kesehatan terhadap warga.

Sementara itu, pernyataan lain datang dari Dewan Pengawas RSUD Taman Husada yang juga Kepala Dinas Kesehatan Bontang, Bahtiar Mabe. Ditemui Jumat, 5 September 2025 Bahtiar justru mengaku tidak tahu menahu ihwal pengoperasian insinerator di RSUD Taman Husada.

Bahtiar berdalih baru mengetahui perihal tersebut setelah RSUD memperoleh peringkat merah Properlink Daerah Kalimantan Timur. Bahkan ia menganggap manajemen RSUD terkesan senyap setiap ada persoalan. “Nanti coba saya koordinasi. Manajemen (RSUD) minim koordinasi padahal saya Dewas,” klaimnya.

Kepala Bagian Umum dan Sumber Daya Manusia RSUD Taman Husada, Andiga Mufti Kuswardani.

***

Kepala DLH Bontang, Heru Triatmojo, mengklaim sudah beberapa kali memberikan peringatan dan mengarahkan RSUD Taman Husada untuk secepatnya merampungkan segala proses perizinan pengoperasian insinerator.

Kendati demikian, Heru tak menampik pengoperasian insinerator tetap dilakukan RSUD meski peringatan telah diberikan. Ia menduga hal itu dilakukan RSUD lantaran pengelolaan limbah medis tidak bisa dilakukan secara serampangan. Mengingat limbah medis masuk kategori limbah B3 yang membutuhkan penanganan khusus.

Selain itu, Heru juga mengaku tak bisa berbuat banyak mengingat kewenangan terkait pengoperasian insinerator berada di tangan pemerintah pusat.

“Mungkin dapat izin dari kementerian ya (insinerator tetap beroperasi meski belum berizin) asal proses perizinannya tetap berjalan,” duganya saat ditemui, Selasa, 02 September 2025.Kepada kami, manajemen RSUD sudah mengakui bahwa mereka tidak memiliki izin.

Ditanya soal keluhan warga yang mengaku terdampak polusi dari aktivitas insinerator, Heru mengaku sudah meminta pihak RSUD untuk memenuhi standar baku mutu emisi yang ditetapkan.

Heru juga berjanji akan mengecek langsung kondisi di lapangan untuk memastikan polusi yang dihasilkan dari insinerator benar berdampak pada kesehatan warga sekitar rumah sakit.

Dijelaskan Heru, keberadaan insinerator memang dibutuhkan oleh rumah sakit untuk mempermudah pengelolaan limbah medis yang dihasilkan dari aktivitas pelayanan kesehatan. Lokasinya pun harus berada di dalam kawasan rumah sakit. Namun, jika tidak memiliki insinerator sendiri, rumah sakit bisa bekerja sama dengan pihak ketiga berizin untuk mengelola limbah medis mereka.

Di Bontang, kata Heru, ada tiga rumah sakit yang diketahui sudah memiliki insinerator. Ketiganya yakni RS Pupuk Kaltim (RS PKT) yang diketahui sudah mengantongi izin resmi dari kementerian, RSUD Taman Husada, dan RS LNG Badak. Namun, untuk insinerator milik RS LNG Badak diketahui sudah tidak lagi beroperasi.

“Sepengetahuan saya setiap insinerator rumah sakit hanya boleh mengelola limbah mereka sendiri, tergantung izin yang dimiliki,” terangnya.

Sanksi Pidana

Pengamat Hukum Alfian mendesak Pemerintah Kota Bontang bertindak tegas menyikapi langkah RSUD Taman Husada yang mengoperasikan insinerator tanpa izin KLH.

Menurutnya, pengoperasian mesin pembakar limbah B3 tanpa izin merupakan tindakan yang ilegal, sehingga sanksi harus segera diterapkan. “Sanksinya mulai dari administratif hingga pidana,” jelasnya, Selasa, 9 September 2025.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Bontang 8/2020 tentang Pengelolaan Limbah B3 dalam Pasal 66 disebutkan, bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Diketahui, Pasal 29 ayat (1) berbunyi setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib memiliki izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan peyimpanan limbah B3.

Sementara UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 102 berbunyi setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Alfian pun menyayangkan sikap DLH Bontang yang terkesan membiarkan aktivitas pembakaran limbah B3 secara ilegal oleh RSUD, dengan dalih jika seluruh kewenangan berada di pemerintah pusat.

Padahal, secara aturan DLH bisa langsung memberikan sanksi terhadap pihak yang melakukan pengelolaan limbah beracun tanpa izin. “Ini bukti lemahnya pengawasan. Harus ada izin dulu baru beroperasi,” tuturnya.

Alfian menyebut, dalam Peraturan Pemerintah (PP) 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa insinerator adalah kegiatan berisiko tinggi dan wajib memiliki izin lingkungan. Oleh karena itu, setiap perusahaan maupun rumah sakit yang memiliki insinerator diminta untuk berhati-hati dalam mengelola limbah B3.

Pun dengan syarat pengoperasian insinerator juga harus dipenuhi tanpa terkecuali. Mengingat pengoperasian insinerator bisa berdampak pada lingkungan jika tidak dilakukan dengan standar teknis dan pengawasan yang ketat.

“Masyarakat bisa melakukan gugatan jika pengoperasian insinerator menimbulkan kerusakan lingkungan, salah satunya gangguan kesehatan terhadap warga,” katanya. (*)

Liputan ini merupakan hasil kolaborasi klikkaltim.com, eksposkaltim.com, bontangpost.id, dan Kaltim Post.

Print Friendly, PDF & Email

Read Entire Article
Batam Now| Bontang Now | | |