BONTANGPOST.ID, Sangatta – Kurun lima tahun terakhir, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kutai Timur (Kutim) mencatat 104 kasus sengketa dan pengaduan pencemaran lingkungan.
Artinya, rata-rata dua kasus masuk setiap bulan atau satu kasus tiap dua minggu. Angka ini menggarisbawahi masih tingginya tekanan terhadap kualitas lingkungan di daerah penghasil tambang dan sawit ini.
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) DLH Kutim, Mangasa, menjelaskan, pengaduan yang diterima masyarakat datang baik secara langsung maupun melalui kanal pelaporan online.
Kasus-kasus tersebut mencakup beragam bentuk pelanggaran, mulai dari pencemaran air, udara, limbah bahan berbahaya beracun (B3), pembuangan limbah padat, kebakaran lahan, hingga kerusakan lahan dan areal konservasi.
“Jadi pada tahun ini sampai Juli atau setengah tahun ini sudah ada sepuluh kasus yang masuk,” ujar Mangasa dalam diskusi G 20 Mei bertajuk Sangatta 2045: Kota Jasa atau Kota Sisa?, Sabtu (9/8).
Berdasarkan klasifikasi, pencemaran air menjadi pelanggaran terbanyak dengan porsi 47 persen. Posisi kedua adalah kerusakan lahan dan areal konservasi sebanyak 28 persen, yang sebagian besar terkait hilangnya fungsi lahan produktif masyarakat serta gangguan terhadap kawasan konservasi.
Selanjutnya pencemaran B3 dan pencemaran limbah B3 masing-masing 7 persen, pencemaran udara 5 persen, limbah padat domestik dan non-B3 4 persen, serta kebakaran lahan 2 persen.
“Kerusakan lahan dan area konservasi ini kaitannya juga dengan kerugian lahan masyarakat yang tercemar. Kemudian adanya area konservasi yang itu dilakukan kerusakan,” terang Mangasa.
Pelanggaran lingkungan tidak merata di seluruh Kutim. Kecamatan Bengalon mencatat angka tertinggi, disusul Sangatta Utara, Kaliorang, dan Rantau Pulung. Beberapa kasus bahkan berujung pada penyegelan dan penghentian sementara operasional perusahaan.
Dalam lima tahun terakhir, lima perusahaan dikenai sanksi penyegelan atau penghentian sementara.
“Kita lakukan tindakan dan penghentian sementara operasional kegiatan sebanyak 5 perusahaan atau setiap 1 tahunnya sekali kita lakukan penindakan penghentian operasional,” ungkap Mangasa.
DLH Kutim juga rutin melakukan pengawasan penaatan lingkungan. Pada 2024, dari 179 perusahaan yang terdaftar di Sistem Pelaporan Elektronik Perizinan Bidang Lingkungan Hidup (SIMPEL), sebanyak 88 sudah diawasi.
Delapan perusahaan dijatuhi sanksi administrasi dan 80 perusahaan dikenai paksaan perbaikan. Tingkat ketaatan meningkat pada 72 perusahaan, sedangkan 16 belum menunjukkan perbaikan.
Mangasa mengingatkan, tidak semua perusahaan terdaftar sudah beroperasi secara fisik. Sebagian baru mengantongi izin dan menyelesaikan status lahan, tetapi belum memulai kegiatan.
Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 14 Tahun 2024 kata Mangasa, DLH mulai menerapkan denda administrasi dalam penegakan hukum lingkungan. Mekanisme ini berbeda dari sebelumnya yang mengutamakan pembinaan (premium remedium).
“Kasus perusahaan yang melakukan pelanggaran mereka akan didenda seperti kami tilang, kemudian masuk ke penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ini yang sedang dirancang PNBP ini bagaimana proses pembagiannya ke daerah dan lain sebagainya,” kata Mangasa.
DLH berharap langkah ini memberi efek jera, sekaligus menjadi instrumen pencegahan.
“Ini yang harus kami lakukan, karena kalau kami tidak dilakukan hal-hal seperti ini maka nanti kami disepelekan. Artinya, apa yang kami punya aturan itu, hanya sebatas kertas,” tegasnya. (kpg)