UU Minerba ‘Kilat’ Disahkan, JATAM; Seperti Bangun Candi dalam Semalam

2 weeks ago 21

BONTANGPOST.ID, Samarinda – Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia memasuki babak baru selepas disahkannya revisi UU 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pada 18 Februari 2025.

Bagi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), diketoknya revisi UU itu hanya membuka lembaran baru dalam kisah kelam pengelolaan SDA.

Disahkannya revisi UU minerba ini, sebut Dinamisator JATAM Kaltim, Mareta Sari menjadi penegas jika parlemen di Senayan, sebutan DPR RI tak lebih dari sekadar panggung sirkus, tempat di mana para politikus bersekongkol dengan oligarki.

“Semua fraksi di DPR Sepakat, tidak ada satu pun anggota dewan yang benar-benar mewakili rakyat,” sebutnya dalam siaran pers, Selasa, 18 Februari 2025.

Para penghuni DPR RI tak sedikit pun bisa memahami bagaimana nasib masyarakat yang tanahnya dirampas, tercemarnya air, hingga hancurnya masa depan karena tambang.

Indonesia, lanjut Eta, begitu dia disapa, mengaku menjadi negara berdemokrasi. Tapi transparansi dan keterlibatan publik yang menjadi salah satu indikator berdemokrasi tak sedikit pun tampak dalam revisi UU ini.

UU Minerba muncul begitu saja untuk direvisi. Tak pernah tercatat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024-2029, apalagi daftar rancangan UU prioritas.

Semua serba tiba-tiba. Muncul pertama kali pada 20 Januari 2025, di tengah reses para wakil rakyat itu.

Usul merevisi mengemuka dan dibahas dalam rapat tertutup dan sehari berselang, RUU ini sudah menjadi usulan inisiatif DPR.

“Prosesnya serba kilat. Dibahas tertutup, jauh dari sorotan publik. Rapat Daftar Inventarisasi Masalah berlangsung maraton 12-15 Februari. Dan panitia kerja dibentuk untuk menyusun rancangan akhir. Seperti membangun candi dalam semalam,” tukasnya.

Padahal, kata Eta, masih ada RUU yang jauh lebih penting untuk rakyat. Seperti UU perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang tak jelas nasibnya sejak 20 tahun silam.

Atau RUU Masyarakat Adata dan RUU Perampasan Aset yang malah dibiarkan berdebu tak tersentuh.

RUU ini dianggap JATAM sangat problematik, menyelipkan sejumlah pasal bermasalah. Seperti Pasal 51 dan Pasal 60 dalam draf revisi itu, yang disebut Eta, menjadi puncak gunung es kongkalikong negara dengan oligarki pertambangan.

Pasal 60 mengatur pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) batubara ke organisasi masyarakat keagamaan.

Dalih pasal ini dicantumkan, untuk memperkuat ekonomi organisasi dan meningkatkan kesejahteraan umat.

Namun, pasal itu malah meluas cakupannya. Tak hanya organisasi keagamaan, koperasi, perusahaan perseorangan, hingga UMKM bisa dapat jatah yang sama.

Implikasi dari pasal ini, terang dia, siapa saja sepanjang berbadan hukum bisa menambang.

Kampus saja juga sempat terseret dari perangkap di pasal ini, yang kemudian DPR dan Pemerintah mengeklaim telah bersepakat menghapus pasal pemberian konsesi itu setelah dikritik publik.

Alih-alih menghapus, lanjut dia, persekongkolan ini malah membuat skema lain lewat Pasal 51 A dan Pasal 60 A.

Lewat dua pasal itu, perguruan tinggi tetap bisa mendapat manfaat dari tambang melalui perjnajian kerja sama dengan badan usaha.

“Kampus yang menjadi gerbang menggali ilmu, bisa dipastikan menjadi bagian dari bisnis menggali tambang,” tukasnya.

Dalih pemerintah dan DPR, revisi ini perlu dilakukan untuk menyesuaikan aturan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara 37/PUU-XIX/2021.

Namun realitanya, dari 26 perubahan yang dituangkan dalam revisi ini, hanya dua pasal yang benar-benar merespons putusan MK itu.

Pasal 17 A dan Pasal 31 A. Selebihnya, dalam kacamata JATAM, hanya tentang memperluas tumbuh suburnya pemain dengan bagi-bagi izin tambang.

“Pada akhirnya, ini cuma sekadar babak baru untuk melegalkan menjarah SDA dengan ugal-ugalan,” katanya mengakhiri. (*)

Print Friendly, PDF & Email

Read Entire Article
Batam Now| Bontang Now | | |