Revisi UU Minerba, Akademisi Unmul Khawatir Kampus Kehilangan Independensi

2 weeks ago 19

BONTANGPOST.ID, Samarinda – Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) yang disahkan DPR RI pada 18 Februari 2025 menimbulkan kekhawatiran di kalangan akademisi.

Perubahan ini dinilai berpotensi mengancam independensi perguruan tinggi, terutama dalam bersikap kritis terhadap industri tambang dan transisi energi.

Revisi UU Minerba memuat pasal yang memungkinkan perguruan tinggi menerima manfaat dari pengelolaan tambang oleh BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta melalui perjanjian kerja sama.

Dosen Universitas Mulawarman (Unmul) sekaligus Anggota Badan Pekerja Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herdiansyah Hamzah, menilai ada dua motif utama di balik kebijakan ini.

“Pertama, regulasi ini merupakan bentuk barter konsesi tambang, di mana perguruan tinggi dijadikan penerima manfaat untuk menundukkan kampus,” ujarnya, Jumat (21/2)

Menurutnya, motif kedua adalah menjadikan kampus sebagai “stempel” bagi industri ekstraktif, sehingga perguruan tinggi kehilangan perannya sebagai ruang kajian yang objektif dan berbasis ilmiah.

Kampus Bisa Kehilangan Sikap Kritis

Kekhawatiran serupa disampaikan Sartika Nur Shalati, Policy Strategist Yayasan Indonesia Cerah (CERAH). Ia menilai revisi UU Minerba bisa membungkam sikap kritis kampus.

“Perguruan tinggi yang seharusnya independen dan berbasis ilmiah berisiko dipaksa mendukung kebijakan tambang, meski bertentangan dengan prinsip keberlanjutan,” tegasnya.

Dalam Pasal 51A dan 60A ayat 1 UU Minerba, pemerintah pusat memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada BUMN, BUMD, atau swasta untuk kepentingan perguruan tinggi. Meski kampus tidak menerima izin secara langsung, ayat 3 menyatakan sebagian keuntungan bisnis tambang akan diberikan kepada perguruan tinggi sesuai perjanjian kerja sama.

Dengan adanya pemangkasan anggaran pendidikan oleh pemerintah, Sartika menilai perguruan tinggi bisa semakin bergantung pada dana dari perusahaan tambang, yang berpotensi menghambat riset energi terbarukan.

“Transisi ke energi bersih akan sulit, karena mitra industri perguruan tinggi justru memiliki kepentingan dalam bisnis batu bara,” tambahnya.

Dampak Luas bagi Industri Tambang

Sementara itu, Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengkritik revisi UU Minerba yang dinilai dapat membuka kembali praktik pemberian izin tambang secara tidak terkendali.

“Pemerintah dan DPR seperti mengulang kesalahan 10 tahun lalu, di mana ribuan izin tambang tidak memenuhi kewajiban pajak, royalti, serta aspek lingkungan seperti AMDAL dan reklamasi,” tegasnya.

Aryanto juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah dalam sektor pertambangan. Hingga kini, publik belum mengetahui perkembangan pembentukan Ditjen Gakkum di Kementerian ESDM, yang seharusnya bertugas mengawasi kepatuhan industri tambang.

“Pemberian izin tambang harus tetap melalui mekanisme lelang untuk memastikan aspek teknis, lingkungan, dan finansial dipenuhi. Jika tidak, risikonya sangat besar,” pungkasnya.(*)

Print Friendly, PDF & Email

Read Entire Article
Batam Now| Bontang Now | | |