BONTANGPOST.ID, Kutim – Populasi orangutan di Kutai Timur semakin terancam seiring dengan masifnya aktivitas pertambangan yang menyebabkan hilangnya habitat alami.
Perubahan habitat secara signifikan terjadi di wilayah konsesi PT Kaltim Prima Coal (KPC) dalam kurun waktu 2022 hingga 2024, terutama di area pembukaan lahan ke arah utara.
Fragmentasi habitat membuat ruang jelajah orangutan semakin terbatas, sehingga satwa dilindungi ini terpaksa berpindah ke wilayah baru, termasuk kawasan reklamasi.
Kondisi ini turut meningkatkan interaksi antara orangutan dan masyarakat sekitar, yang berpotensi menimbulkan konflik satwa dengan manusia.
Untuk meminimalisasi dampak dari perubahan habitat, Wawan Setiawan, General Manager External Affairs and Sustainable Development (GM ESD), didampingi Kiagus Nirwan, Manager Environment KPC, mengklaim bahwa KPC telah menerapkan berbagai strategi mitigasi.
Salah satunya adalah penyediaan pakan tambahan di area reklamasi. Tanaman seperti tebu ditanam sebagai sumber makanan alternatif, meskipun ketersediaannya harus terus diperbarui karena cepat habis dikonsumsi satwa.
“Perusahaan itu membuat beberapa mitigasi program. Salah satunya adalah dengan memperkaya tanaman tebu di area reklamasi di dekat sana. Tujuannya bukan untuk tebu itu tumbuh dan besar. Jadi untuk menambah saja pakannya mereka” ujarnya.
Selain itu, perusahaan menetapkan enam kawasan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV) seluas 2.040 hektare sebagai habitat alternatif. Wilayah ini diharapkan mampu menampung satwa liar agar tidak terdorong masuk ke area permukiman.
Proses reklamasi juga menjadi bagian dari komitmen perusahaan, dengan sekitar 15.000 hektare lahan atau 40,94% dari total lahan terbuka telah direklamasi hingga Januari 2025. Jenis tanaman yang digunakan terdiri dari 40% tanaman cepat tumbuh, 40% tanaman lokal, dan 20% tanaman pakan satwa seperti jambu-jambuan, nangka dan sengon.
Pemantauan keanekaragaman hayati dilakukan secara rutin sejak 2011 bekerja sama dengan Ecositrop, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur, Universitas Mulawarman, Institut Pertanian Bogor, dan lembaga konservasi lainnya. Metode pemantauan melibatkan survei lapangan, penggunaan drone, serta pemasangan camera trap untuk mendeteksi keberadaan satwa.
“Kami menyampaikan bahwa KPC itu melakukan yang namanya kegiatan monitoring dan evaluasi (monev). Kegiatan monev itu khusus untuk keberagaman satwa itu kita lakukan sejak tahun 2011 sampai dengan 2024 menggandeng banyak pihak. Mulai dari Ecositrop, kemudian Stiper, Unmul, pernah IPB hadir untuk kita hire untuk melihat potensi keanekaragaman hayati” ungkapnya.
KPC juga menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) penyelamatan satwa sebagai panduan pelaporan dan penanganan jika ditemukan satwa yang berpotensi mengalami konflik atau perubahan perilaku. Jika diperlukan, koordinasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dilakukan untuk proses rehabilitasi atau translokasi satwa.
Upaya mitigasi ini menjadi langkah penting dalam menjaga kelestarian orangutan di tengah ancaman aktivitas pertambangan yang terus berlangsung. Namun, keberhasilan konservasi membutuhkan sinergi antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah untuk melindungi habitat satwa liar di Kutai Timur. (*)