Buzzer, Doxing, dan Kemunduran Demokrasi

2 weeks ago 21

BONTANGPOST.ID, Samarinda – Pengamat komunikasi dari FISIP Universitas Mulawarman, Nurlia, menyebut fenomena viralnya potongan video pejabat tanpa konteks sebagai ujian komunikasi publik di era digital.

Menurutnya, setiap pemimpin perlu memiliki sensitivitas terhadap kebutuhan dan persepsi publik sebelum menyampaikan kebijakan atau tindakan di ruang terbuka.

“Kalau pesan tidak sesuai ekspektasi publik, ya pasti diserang. Apa pun yang disampaikan komunikator publik akan memicu reaksi,” ujarnya, Selasa (13/5).

Menurut Nurlia, isu seperti lapangan kerja, pendidikan, dan ekonomi lebih dibutuhkan publik. Pemimpin yang menyentuh persoalan itu akan lebih mudah diterima.

Terkait buzzer yang menggiring opini lewat potongan video, ia mengingatkan agar pejabat publik tidak reaktif. “Ketika sudah jadi tokoh publik, kita harus siap dengan segala reaksi. Tidak semua orang bisa disenangkan,” ujarnya.

Pernyataan itu merespons viralnya potongan video Wali Kota Samarinda, Andi Harun, yang menegur pemilik kafe di kawasan Citra Niaga.

Dalam beberapa akun media sosial, video tersebut ditampilkan tanpa konteks, memperlihatkan hanya bagian teguran keras tanpa menjelaskan latar belakang peristiwa.

“Medsos yang tidak tahu konteks, dipotong videonya, akhirnya jadi jelek narasinya,” kata Andi Harun.

Padahal, menurutnya, teguran itu dilakukan karena kafe tersebut tidak menjaga kebersihan dan tidak menyediakan tempat sampah maupun toilet bagi pengunjung.

“Pemiliknya dari Balikpapan, masa halamannya dijadikan tempat buang air. Di Balikpapan bisa tertib, kenapa di Samarinda seenaknya?” tegasnya.

Andi menekankan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menjaga ketertiban dan kebersihan kota, bahkan di hari libur.

“Kami kerja benar saja belum tentu dinilai baik, apalagi kalau kami santai. Kalau niatnya memang menggoreng, apa pun bisa dibalik,” ucapnya.

Giringan Opini di Medsos

Kasus ini memperkuat kekhawatiran tentang peran akun media sosial yang kini tak lagi netral. Alih-alih menjadi saluran informasi, banyak akun justru menjadi alat propaganda atau ladang ujaran kebencian.

Tika, karyawan swasta di Samarinda, mengaku jenuh membuka Instagram karena serangan buzzer. “Komentarnya parah. Awalnya saya pikir bisa jadi tempat tukar pikiran, sekarang malah saling serang,” ujarnya.

Alfian, mahasiswa, menyoroti maraknya akun anonim yang menggiring opini untuk menyalahkan pihak tertentu. “Masyarakat jadi gampang terbawa arus informasi yang tidak utuh,” katanya.

Susi, pegiat seni, menilai algoritma medsos justru memperkuat penggiringan opini negatif. Ia mencontohkan kasus wali kota yang dinarasikan arogan padahal konteks aslinya berbeda.

“Beda potongan video sedikit saja langsung dibelokkan. Pemerintah harusnya cepat klarifikasi,” ujarnya.

Sementara Pratama, pegiat komunitas hewan, menyoroti minimnya literasi digital. “Banyak orang lihat follower banyak lalu percaya. Padahal itu bisa dikendalikan jaringan tertentu,” katanya.

Doxing dan Kemunduran Demokrasi

Lebih jauh, fenomena buzzer dan penyebaran data pribadi (doxing) menjadi perhatian pengamat kebijakan publik dari Unmul, Syaiful Bachtiar. Ia menyebut tindakan itu sebagai bentuk kemunduran demokrasi.

“Kalau kritik disampaikan berdasarkan fakta, maka harusnya dilindungi oleh hukum,” katanya, merujuk Pasal 28E UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998.

Namun, menurutnya, realitas justru menunjukkan intimidasi terhadap pengkritik, baik verbal maupun nonverbal.

“Doxing bukan hanya pelanggaran etika, tapi strategi membungkam. Diamnya aparat hanya memperkuat budaya impunitas,” tegasnya.

Syaiful menekankan, negara harus hadir melindungi warga yang menyampaikan kritik secara sah dan konstitusional. “Kalau ini dibiarkan, ruang demokrasi bisa lumpuh tanpa kita sadari,” pungkasnya.
(hun/mrf/beb/sapos)

Read Entire Article
Batam Now| Bontang Now | | |