BONTANGPOST.ID, Kutim – Peringatan Hari Mangrove Sedunia yang jatuh pada 26 Juli tidak sepenuhnya menjadi ajang perayaan di Kutai Timur.
Justru sebaliknya, hari tersebut menjadi momentum untuk menyuarakan keprihatinan atas kondisi pesisir, khususnya di kawasan Teluk Lingga, Sangatta Utara.
Aktivis pemerhati lingkungan dan kebijakan publik dari Gerakan 20 Mei, Erwin, menyatakan bahwa pihaknya menyoroti adanya dugaan pembabatan kawasan mangrove untuk kepentingan pembangunan kafe tematik dan sektor wisata tanpa dasar izin lingkungan yang jelas.
“Kami sangat prihatin atas adanya dugaan pembabatan kawasan mangrove di Teluk Lingga. Mangrove bukan sekadar pepohonan di pesisir, melainkan sistem penyangga kehidupan, melindungi garis pantai dari abrasi, menjadi habitat biota laut, sekaligus berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim,” ujar Erwin, Minggu (27/7).
Ia menegaskan bahwa perlakuan terhadap ekosistem pesisir harus dilakukan secara hati-hati, berbasis ilmu pengetahuan, dan tunduk pada peraturan yang berlaku.
Menurutnya, pembangunan yang baik bukan hanya soal estetika atau ekonomi, tapi juga memastikan keberlanjutan lingkungan dan melibatkan masyarakat sebagai pemilik ruang hidup.
“Kami memahami semangat pembangunan dan inisiatif kreatif seperti kafe tematik. Tapi pembangunan yang baik adalah yang berjalan seiring dengan keberlanjutan lingkungan dan partisipasi warga,” tuturnya.
“Jika pembangunan dilakukan tanpa izin, tanpa dokumen lingkungan seperti SPPL atau UKL-UPL, dan tanpa koordinasi dengan pemerintah desa, maka itu bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bentuk pengabaian terhadap prinsip tata kelola yang baik dan keadilan ekologis,” sambungnya.
Erwin juga mendorong adanya keterbukaan dokumen perizinan dan ruang dialog antara pihak-pihak yang berkepentingan.
“Kami mengajak semua pihak duduk bersama, membuka dokumen secara transparan, dan mengedepankan pendekatan korektif. Jika memang ada pelanggaran, langkah pemulihan ekologis harus dilakukan secara konkret dan terukur,” tegasnya.
“Ini bukan soal menebus kesalahan semata, tetapi bagian dari komitmen menjaga Teluk Lingga sebagai warisan alam dan ruang hidup masyarakat pesisir Kutim,” bebernya.
Ia menutup pernyataan dengan penekanan bahwa tidak ada bentuk pembangunan yang sepadan dengan kerusakan ekosistem.
“Karena itu, kami akan terus mengawal isu ini, bukan untuk menghukum, tapi untuk memastikan Kutai Timur tumbuh sebagai daerah yang adil secara sosial dan lestari secara ekologis,” pungkasnya. (*)