BONTANGPOST.ID – Jaringan Masyarakat Sipil menyuarakan penolakan keras terhadap rencana revisi Undang-Undang Minerba (Minerba). Dalam rancangan undang-undngan yang baru tersebut ada rencana memberikan celah pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi.
Upaya itu terungkap dalam rapat yang digelar Badan Legislasi DPR RI (Baleg DPR) untuk merevisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba), Senin (20/1) lalu.
Perwakilan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Masduki, menyampaikan bahwa wacana pemberian izin tambang bagi perguruan tinggi merupakan sebuah sesat pikir dan bentuk upaya transaksional terhadap institusi yang seharusnya berperan sebagai penyeimbang pemerintahan.
“Rencana perguruan tinggi diberikan izin tambang itu kebablasan,” tegas Masduki dalam konferensi pers melalui aplikasi Zoom kepada awak media.
Masduki menambahkan bahwa perguruan tinggi adalah lembaga penyeimbang, bagian dari masyarakat sipil yang berfungsi sebagai pengontrol untuk menjaga negara tetap sehat dan demokratis.
“Tanpa kehadiran oposisi, seperti perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil, cita-cita reformasi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara demokratis hanya akan melemah,” ungkapnya.
Selain itu, ia mengkhawatirkan bahwa pemberian wewenang izin tambang kepada perguruan tinggi dapat merusak otonomi akademik dan mengancam kebebasan akademisi di kampus untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.
Perguruan tinggi tidak akan bisa lagi menyampaikan kritik atas kerusakan yang diakibatkan tambang. “Bahkan, bisa jadi ikut mengglorifikasi kerusakan itu. Masyarakat akan semakin kehilangan standar moral,” tegasnya.
Masduki menyerukan agar perguruan tinggi menolak tawaran untuk mengelola tambang. Menurutnya, penolakan tersebut adalah langkah wajar karena wacana ini merupakan sebuah kemunduran.
“Perguruan tinggi mestinya jadi pengontrol dan penghasil riset, bukan sebagai pelaku usaha, apalagi di sektor tambang,” bebernya.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Yayasan LBH Indonesia, Zainal Arifin, menyebut bahwa rapat yang digelar di masa reses melanggar aturan yang telah ditetapkan.
“Jika mengacu pada Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, jelas tidak diperbolehkan membahas undang-undang di masa reses. Seharusnya, anggota DPR fokus menemui konstituen di daerah, bukan malah mengadakan pembahasan revisi UU,” ucapnya.
Ia juga menyoroti bahwa pembahasan dilakukan secara tertutup, meskipun materi yang dibahas memiliki dampak besar bagi masyarakat luas.
“Ini menyangkut kepentingan publik dan berpotensi berdampak pada lingkungan hidup. Rapat seharusnya dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik,” tegasnya.
Lalu, Juru Bicara Koalisi Bersihkan Indonesia, Aryanto Nugroho, mengaku tidak terkejut dengan langkah DPR. Menurutnya, rapat mendadak ini sejalan dengan pola kerja legislasi yang minim transparansi.
“Tidak jauh berbeda dengan DPR sebelumnya yang sering membuat regulasi secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan keterlibatan publik,” katanya. Aryanto menduga bahwa agenda rapat ini memiliki tujuan tertentu, salah satunya untuk memuluskan pemberian izin tambang kepada badan usaha milik organisasi tertentu, termasuk perguruan tinggi.
Ini berpotensi hanya menguntungkan segelintir pihak tanpa mempertimbangkan dampak buruknya bagi masyarakat dan lingkungan,” pungkasnya.
Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan akan terus mengawal isu ini demi memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses revisi regulasi. Mereka juga menyerukan DPR untuk menghentikan praktik legislasi yang tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik. (mrf/nha)