BONTANGPOST.ID, Samarinda – Beragam jawaban terkait BBM yang bikin “brebet” sudah banyak berseliweran. Namun yang beredar, menurut pengamat komunikasi asal Universitas Mulawarman, Silviana Purwanti, belum mampu menenangkan kegelisahan masyarakat.
Upaya para pemilik kewenangan menindaklanjuti keluhan yang muncul memang patut diapresiasi. “Langkah turun ke lapangan, menyigi masalah itu cukup positif. Tapi, ada tapinya,” ucapnya dikonfirmasi via seluler, Senin, 7 April 2025.
Komunikasi para pemegang otoritas itu mestinya jangan sekadar rilis resmi bernarasikan positif jika semua baik-baik saja. Minim manajemen krisis.
Pemerintah mestinya perlu mendengar langsung, menyimak realitas sesungguhnya dari masyarakat. Bukan menempatkan masyarakat sebagai penonton dalam langkah-langkah menangani permasalahan yang ada. “Harusnya ada komunikasi dua arah,” sebutnya melanjutkan.
Respons Gubernur Kaltim, Rudy Mas`ud selepas menyidak beberapa SPBU beberapa waktu lalu misalnya. Pemerintah terkesan defensif tanpa berani lebih jauh melangkah meski kewenangan dimiliki. Apa yang disampaikan orang nomor satu di tanah Etam itu malah belum seujung kuku kegelisahan masyarakat.
Pernyataan “semua sudah sesuai standar” yang disampaikan Gubernur justru membuat ketidakpuasan masyarakat kian melebar karena tak dibarengi dengan penjelasan teknis atau langkah investigasi terbuka.
“Mestinya pernyataan pemimpin bisa jadi penenang, bukan menambah keraguan. Bisa bikin publik makin tak percaya,” jelasnya.
Pertamina dan kepolisian pun demikian. Mereka punya tanggung jawab lebih dari sekadar klarifikasi dan menyodorkan rilis resmi. Harusnya dibuka sebuah ruang dialog. Dalam kasus ini, yang dipertaruhkan bukan hanya tentang mesin motor yang mogok, tapi juga rasa aman warga terhadap pelayanan publik yang dihadirkan. “Pendekatan komunikasinya perlu dibenahi,” lanjutnya.
Jangan sekadar melempar narasi resmi hasil kerja dan menanggalkan pelibatan publik dalam mencari jalan keluar dari masalah BBM bikin brebet ini. “Seluruh pihak berkelindan perlu lebih transparan, empatik, serta responsif,” tukasnya.
Respons gubernur, Pertamina, serta kepolisian memang langkah yang patut diapresiasi karena mereka mau mendengar keluhan masyarakat. Tapi narasi yang tersusun hasil respons itu masih tak sejalan dengan kondisi lapangan yang dihadapi warga.
Terlepas dari niat baik para pemilik kewenangan tersebut, kredibilitas lembaga tetap bisa runtuh. “Meski fakta lapangan kadang tak seburuk yang dibayangkan. Kalau komunikasinya tak tepat sasaran, tetap akan jelek di mata publik,” katanya mengakhiri. (*)