Air Limbah PT Pertamina Hulu Sanga Sanga Mengalir sampai Jauh

2 weeks ago 39

BAU hancing menusuk hidung menyambut kedatangan nelayan kerang dara. Mereka mendatangi lokasi kolam penampungan limbah bekas pengeboran minyak PT Pertamina Hulu Sanga Sanga, Muara Badak, Kutai Kartanegara, 28 Desember 2024.

Setidaknya terdapat tiga kolam yang berdampingan dengan muara sungai. Jaraknya sekira 300 meter dari bibir laut, di mana nelayan membudidaya kerang dara.

Dari hasil tinjauan nelayan, didapati bahwa air limbah sengaja dialirkan ke sungai. Dibuktikan dengan bekas galian tanggul kolam yang terbuat dari tanah. Air di kolam pun tak banyak yang tersisa.

Dua hari setelah warga mendapati aliran limbah ke sungai, PT PHSS menutup tanggul yang ditengarai sengaja dijebol itu. Mereka juga menyemprotkan cairan kimia ke dalam kolam.

Saat dikonfirmasi, PT PHSS tidak menjawab terkait jenis limbah maupun tindakan menjebol tanggul hingga limbah mengalir ke sungai. Termasuk tak membeberkan jenis cairan kimia yang disemprotkan setelah mereka ketahuan mengalirkan limbah ke sungai.

Pengelolaan limbah pengeboran minyak dan gas bumi sejatinya sudah diatur melalui Peraturan Menteri ESDM 045/2006. Pada Pasal 8 tertera, pembuangan akhir limbah dilarang dilakukan di daerah sensitif. Salah duanya adalah melarang membuang di sempadan sungai dan pantai.

“Perusahaan senantiasa menerapkan praktik-praktik sesuai dengan standar yang ditetapkan demi mengoptimalkan pengelolaan dampak lingkungan atas kegiatan operasi minyak dan gas bumi guna menjaga kelestarian lingkungan sekitar,” kata Manager Comrel & CID PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) Dony Indrawan. PHI merupakan induk dari PT PHSS.

Dony mengklaim, pihaknya menjalankan operasi hulu migas dengan mengutamakan aspek keamanan, keselamatan, dan kepatuhan terhadap seluruh ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PT Pertamina Hulu Sanga Sanga melakukan penyemprotan di kolam penampungan limbah setelah kedapatan mengalirkan limbah ke sungai, pada 30 Desember 2024. (dok nelayan)

Lokasi kolam penampungan limbah yang berdampingan dengan pesisir juga ditengarai bermasalah.

Dikatakan dosen Teknik Lingkungan Universitas Mulawarman Muhammad Busyairi, limbah hasil pengeboran memang harus ditampung. Namun, lokasi penampungan limbah harus melihat berbagai aspek. Tidak boleh berdekatan dengan daerah sensitif, seperti permukiman atau terdapat aktivitas nelayan. “Kalau ada dalam perencanaan, harus dipindahkan atau tidak berada pada daerah sensitif/lingkungan yang rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan,” kata Busyairi.

Melepaskan limbah juga harus lebih melewati berbagai proses dan memperhatikan kawasan sekitar. Agar sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan. Terlebih jika limbah tersebut dilepaskan ke perairan umum. “Jika dilepas di perairan umum harus melihat kondisi sekitar. Apakah ada aktivitas nelayan, permukiman, karena baku mutu di kolam penampungan berbeda dengan baku mutu perairan umum atau air di pesisir. Artinya, jika ditampung di kolam tidak ada baku mutu bio indikator, tapi bisa jadi rentan jika dilepaskan di perairan umum atau tempat yang ada aktivitas biota air,” ungkapnya.

Semua proses pengelolaan limbah, ucap Busyairi, harus ada di dalam Dokumen Lingkungan Hidup. Yakni, mulai tahap perencanaan harus sesuai PP 22/2021 tentang PPPLH, baik berupa Analisis Masalah Dampal Lingkungan (Amdal) ataupun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL UPL). Upaya pelaksanaan matrik RKL RPL dan/atau matrik wajib dilaksanakan sesuai KepMen LH 45 2005UKL UPL. “Mereka jalankan itu (sesuai Dokumen Lingkungan Hidup) atau tidak. Di dokumen itu akan dicantumkan semua, apakah limbah ditampung, apa saja parameternya, lalu dilepaskan di mana dan berapa baku mutunya. Semua harus ada pada Dokumen Lingkungan Hidup,” tegasnya.

Sementara terkait pencemaran, harus dibuktikan lebih lanjut. Yakni dengan melakukan uji lab, sehingga bisa diketahui pengelolaan air limbah sudah sesuai baku mutu atau tidak. Pihak yang mengambil sampel dan laboratoriumnya harus tersertifikasi. “Jika di atas nilai baku mutu baru disebut secara hukum (sebagai) pencemaran,” tuturnya.

Kondisi lingkungan yang masuk kategori telah tercemar tidak akan bisa hilang, karena endapan logam berat akan terakumulasi di sedimen atau lumpur. Untuk membuktikannya, sampel di kolam penampungan limbah dan perairan umum diperiksa. “Kalau kandungan lumpurnya dan kandungan logam beratnya sama, bisa diduga alirannya dari sana (kolam penampungan limbah),” katanya.

Bontang Post sempat mendatangi lokasi kolam penampungan limbah pada 17 Februari 2025. Di sana hanya terdapat empat orang, dua di antaranya mengenakan seragam security PT PHSS. Media ini dilarang mendekat ke kolam. Tak ada aktivitas pengeboran, sementara kolam limbah dikeliling pita garis kuning.

Lokasi penampungan limbah PT PHSS. Tampak tanggul dijebol sehingga limbah mengalir langsung ke daerah pesisir, karena letaknya yang berdampingan. Belakangan tanggul kembali ditutup setelah ada protes dari nelayan.

NELAYAN KERANG DARA MERANA

Di bawah sengatan matahari Abdul Samad berdiri di tengah lumpur. Air matanya mengalir deras, dia histeris melihat kerang dara miliknya mati. Pria 66 tahun itu berjongkok mengambil beberapa kerang dara dari lumpur. Isak tangis semakin keras keluar dari mulutnya bersamaan dengan tatapan pilu pada kondisi ribuan kerang dara yang terhampar di keramba miliknya.

“Bayangkan dari delapan keramba tak ada satu pun yang selamat. Semua mati tidak ada yang tersisa,” katanya saat ditemui, Ahad, 16 Februari 2025.

Dengan penuh keengganan, ia mengabarkan hal ini kepada sang istri. Tangisan histeris sang istri membuat Abdul Samad kembali menangis. Detik itu juga, Abdul Samad merasa dunianya runtuh.

Bukan tanpa alasan, kerang dara milik Abdul Samad yang mati merupakan kerang dara yang sudah siap panen. Alhasil, kerugian besar membayanginya. “Saya habis Rp70 juta hanya untuk beli bibitnya. Belum biaya operasional lainnya,” ungkapnya.

Abdul Samad mengisahkan, 2024 kemarin merupakan tahun keduanya terjun sebagai pembudidaya kerang dara. Di tahun pertamanya sebagai pembudidaya, Abdul Samad menebar 10 ton bibit kerang dara.

Saat panen ia mampu meraup keuntungan bersih sebesar Rp200 juta lebih. Angka itu di luar biaya operasional, gaji pekerja harian, pembelian peralatan dan lain sebagainya. “Kalau masuk musim panen, setiap hari bisa dapat Rp10 juta,” terangnya.

Selain digunakan untuk membeli kapal kecil, keuntungan yang diperoleh Abdul Samad dari panen di musim pertama digunakan kembali untuk membeli bibit. Ia mengaku, harga bibit bervariasi. Mulai dari Rp7.000 sampai Rp9.000 per kilogram. “Bahkan saya kemarin belinya Rp10.000. Itu sudah yang saya tebar, ada 7 ton. Tapi, pas musim panen malah mati,” katanya sembari mengisap dalam rokok di sela-sela jarinya.

Sebelum menjadi seorang pembudidaya kerang dara, Abdul Samad merupakan seorang nelayan jaring. Namun, ia memutuskan untuk beralih profesi setelah melihat kesuksesan tetangganya sebagai pembudidaya kerang dara.

Dari 1 ton bibit kerang dara yang ditebar, pembudidaya bisa memanen hingga 7 ton. Harga jual kerang dara per kilogramnya pun mencapai dua kali lipat dari harga bibit. Untuk size pertama, harga jual kerang dara bisa menyentuh angka Rp18.000 per kilogram. Sementara size kedua, dibanderol Rp14.000-16.000 per kilogram. “Size ketiga bisa dijual Rp8.000. Tapi, kadang dikembalikan lagi ke keramba, tunggu besar baru dipanen lagi,” jelasnya.

Tak hanya Abdul Samad, duka juga menyelimuti Hemma. Pria 53 tahun itu harus menerima kenyataan jika 9,6 ton bibit kerang dara yang ditebarnya di musim ini mati mendadak. Matinya kerang dara yang sudah memasuki masa panen itu diketahuinya pada pertengahan Desember 2024 lalu.

Hemma kalut bukan main, lantaran modal pembelian bibit kerang dara itu merupakan hasil pinjaman bank. “Harga bibit Rp9.000 per kilonya. Saya tebar 9,6 ton jadi total untuk beli bibit saja sekitar Rp86 jutaan,” katanya parau.

Hemma mengaku, sebelum ribuan kerang dara di lima kerambanya mati, ia sempat melakukan panen dan memperoleh keuntungan sebesar Rp8 juta. Kerang dara yang dipanennya itu dijual ke pengepul untuk kemudian di ekspor ke Thailand.

Akan tetapi, tak lama berselang Hemma memperoleh informasi jika kerang dara yang di ekspor ke Thailand dibuang begitu saja. Lantaran kondisi kerang dara dinilai sudah tidak layak oleh pembeli. Padahal, menurut Hemma, selama ini ekspor kerang dara selalu berjalan lancar. Bahkan kerang dara asal Muara Badak disebut oleh pembeli dari Thailand sebagai kerang dara terbaik. “Kami dikirimkan videonya dari Thailand. Kerang dara kami dibuang di pinggir jalan sama pembeli,” ungkapnya.

Dikatakan Hemma, video yang dikirimkan oleh pembeli dari Thailand itu sontak membuat seluruh pembudidaya kerang dara di Muara Badak berbondong-bondong mengecek kondisi keramba mereka. Hasilnya, nyaris seluruh kerang dara mati. “Sementara kerang dara yang hidup coba dimakan sendiri sama teman-teman, tapi setelah itu diare. Coba dijual juga tidak ada yang mau beli karena jelek, bau busuk,” paparnya.

Berbeda dengan Abdul Samad, 2024 merupakan tahun ketiga bagi Hemma sebagai pembudidaya kerang dara. Pada musim pertama dan kedua dirinya mampu meraup keuntungan besar. Di musim kedua saja, Hemma berhasil memperoleh keuntungan hingga Rp300 juta lebih dari hasil menebar 9,6 ton bibit kerang dara.

Berbekal pengalaman itu, Hemma kembali menebar 9,6 ton bibit kerang dara di musim ketiga atau pada 2024 lalu. Harapannya bisa meraup pundi-pundi dengan nominal yang sama seperti musim sebelumnya. Sayang, harapan yang sejak awal dibangun Hemma harus pupus tepat di depan mata.

Sementara itu, Riswan Jamil, juga nelayan kerang dara, kondisi yang tidak biasa ini membuat para pembudidaya gusar. Mereka pun beramai-ramai mencari penyebab kematian massal kerang dara. Hingga akhirnya berujung pada dugaan pencemaran lingkungan, yaitu limbah dari aktivitas pengeboran RIG GWDC di wilayah kerja PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS).

Dugaan ini diperkuat dengan bukti jebolnya tanggul penampungan limbah milik PHSS yang mengarah langsung ke laut. Menyadari kondisi itu, warga pun memutuskan untuk mengambil sampel lumpur di keramba untuk kemudian diuji di laboratorium.

Saat nelayan mengambil sampel, mereka mengalami gatal-gatal. Padahal, selama ini para pembudidaya tidak pernah diserang gatal-gatal hebat. “Semua yang turun menggaruk (badan). Padahal saat itu air konda (pasang),” jelasnya.

Lokasi budi daya kerang dara yang mengalami mati massal terhampar sepanjang Pantai Tanjung hingga Pantai Salo Sembala, dengan radius sekitar 2 mil dari garis pantai.

Nelayan meyakini bahwa mati massal yang membuat mereka gagal panen disebabkan oleh limbah PT PHSS. Untuk menguatkan keyakinan itu, mereka juga melakukan uji lab.

Serangkaian aksi demonstrasi mereka lakukan di depan Pintu 1 PT PHSS. Terakhir pada 12 Februari yang berujung pada diamankannya 10 orang massa aksi. Nelayan menuntut agar PT PHSS memberikan ganti rugi. Termasuk juga membersihkan tambak dari sisa limbah. “Ada 299 nelayan yang gagal panen,” kata koordinator aksi, Yusuf.

Yusuf menyebut bahwa total terdapat 3.871 ton kerang dara yang gagal panen. Dengan estimasi kerugian mencapai Rp50 miliar.

RESPONS PEMERINTAH

Merespons hal ini, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kutai Kartanegara, Sunggono menyebut pihaknya telah mempertemukan berbagai pihak untuk mencari solusi terkait permasalahan ini. Kendati demikian, para pihak masih menunggu hasil uji laboratorium sampel limbah yang diambil pada 23 Januari lalu.

Disinggung mengenai kapan pastinya hasil uji laboratorium sampel limbah keluar, bekas camat Muara Badak ini mengaku tidak mengetahui pasti. “Saya belum dapat info, tapi yang pasti kami maunya bisa cepat selesai (hasil uji lab),” katanya saat dikonfirmasi Senin, 17 Februari 2025.

Di lain sisi, Sunggono mengaku telah menyarankan camat hingga unsur keamanan untuk mencari opini kedua dalam menyelesaikan permasalahan ini. Sehingga tidak lagi hanya berfokus pada penyelesaian kasus berdasarkan hasil uji lab sampel limbah.

“Bisa melalui penjelasan tenaga ahli berdasarkan data dan fakta di lapangan. Misal, ternyata kejadian ini sudah pernah terjadi sebelumnya, atau karena angin selatan atau utara yang menyebabkan perubahan pada rona air, dan lain sebagainya,” sebutnya.

Lebih jauh, Sunggono menekankan, meski permasalahan ini masih terus bergulir, namun prioritas Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yakni memastikan dan mengupayakan agar hak-hak warga tidak dirugikan.

Di lain sisi, Ketua Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, Mareta Sari, justru mengkritik sikap pemerintah daerah yang cenderung lamban. Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah saat ini seolah membiarkan masyarakat menghadapi dampak pencemaran sendirian.

“Kita harus mendesak pemerintah untuk bertindak tegas, bukan hanya menekan perusahaan. Kalau hanya menekan perusahaan, mereka (PT PHSS) akan terus mengulangi hal yang sama,” tegasnya.

Ia memperingatkan bahwa jika pemerintah tidak segera bertindak, situasi bisa semakin rumit dan berpotensi memicu konflik. Baik antara masyarakat dengan perusahaan maupun dengan aparat keamanan.

“Pemerintah harus mengambil peran lebih besar dan cepat menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai ada kekerasan yang tidak kita inginkan. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi soal kehidupan warga. Kalau piring nasi mereka sudah terhambur dan mereka kehilangan mata pencaharian, itu adalah tanggung jawab negara,” tegasnya.

Sementara,Manager Comrel & CID PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) Dony Indrawan mengklaim, perusahaan telah dan akan terus berkoordinasi dengan pihak berwenang, serta pemangku kepentingan terkait. Hal itu untuk memastikan penanganan permasalahan ini dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memastikan kelancaran operasi migas perusahaan sebagai objek vital nasional. “Perusahaan menghormati dan mendukung sepenuhnya langkah yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara berkaitan kejadian gagal panen kerang dara,” ujarnya.

Diharapkan, kata dia, kerja sama dan kolaborasi yang baik dari seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung langkah yang sedang diambil. “Dan keputusan yang akan dibuat oleh pemerintah,” katanya. (*)

Print Friendly, PDF & Email

Read Entire Article
Batam Now| Bontang Now | | |