BONTANGPOST.ID, Samarinda – Sejumlah warga Desa Batuah, tepatnya korban dari longsor di Jalan Poros Samarinda Balikpapan, Km 28, Kutai Kartanegara, menaruh harapan kepada pemerintah.
Wati (43), salah satu korban bencana tersebut menuturkan, tinggal di tenda darurat bersama empat anaknya. Sudah lebih dua pekan mereka meninggalkan rumahnya yang kini nyaris roboh. Tanah yang terus bergerak membuat rumah-rumah di sekitarnya tak lagi aman untuk ditinggali.
“Awalnya itu Januari. Lantai dapur saya mulai retak. Kami pikir cuma biasa. Tapi makin parah. Sampai akhirnya 24 April, jalan poros itu amblas, tanah bergerak, rumah-rumah mulai roboh,” ujarnya saat mengikuti aksi damai di depan Kantor Gubernur Kaltim, Senin (2/6).
Dari catatan warga, sejauh ini ada 21 rumah yang terdampak langsung. Sebanyak 10 di antaranya roboh total, dan 11 lainnya rusak berat. Satu masjid juga ikut terdampak.
“Rumah saya bagian dapurnya rusak. Depannya masih bisa ditempati, tapi kami enggak berani tinggal di situ lagi. Soalnya rumah tetangga saja sudah rata tanah,” imbuhnya.
Kini, dia bersama keluarganya tinggal di posko darurat. Sebagian warga memilih mengungsi ke rumah kerabat. Hanya tiga kepala keluarga yang menetap di posko. Selebihnya mencari tempat berlindung seadanya.
“Kami meminta pemerintah membebaskan lahan baru untuk hunian. Karena kalau dipindah ke tanah pinjam pakai, suatu saat bisa saja diminta kembali. Tidak ada jaminan. Sedangkan tanah kami sendiri itu punya sertifikat,” tegasnya.
Menurut warga, lokasi longsor berada tak jauh dari aktivitas pertambangan batu bara. Dugaan mereka, operasi perusahaan tambang menjadi pemicu tanah bergerak. Mereka meminta Pemprov Kaltim tidak menutup mata.
Roni Hidayatullah, perwakilan pemuda Desa Batuah menyebut, bencana itu terjadi dalam tiga fase. Fase pertama pada 24 Januari 2025, saat enam rumah mulai retak meski curah hujan belum tinggi. Fase kedua, 21 April, jumlah rumah rusak bertambah menjadi 14. Dan puncaknya pada 18 Mei, saat tanah benar-benar longsor dan jalan poros ikut ambles.
“Masyarakat Batuah sudah tinggal di sana sejak 1978. Tapi sejak aktivitas tambang masuk sekitar 2017, kami mulai resah. Banyak perubahan terjadi, khususnya di struktur tanah,” jelas Roni.
Menurutnya, warga sempat bingung harus mengadu ke mana. Bahkan ada upaya intervensi agar mereka tidak mengaitkan longsor dengan aktivitas tambang.
“Ada yang mulai berupaya intervensi, menyarankan supaya kami jangan sebut-sebut tambang sebagai penyebab. Tapi masyarakat sudah lihat sendiri,” tambahnya.
Kini, warga Desa Batuah berharap suara mereka didengar. Bukan hanya ditampung di tenda sementara, tapi diberi kepastian atas hunian yang layak dan aman. (kp)