BONTANGPOST.ID, Samarinda – Keluhan terhadap lubang bekas tambang kembali mengemuka, setelah terjadi peristiwa tenggelamnya seorang pemuda di Loa Kulu. Jatam pun mendesak pemerintah pusat melakukan evaluasi menyeluruh.
Minggu siang, 20 Juli 2025, tubuh Thomas Steven Gomes (21) akhirnya ditemukan mengambang tak bernyawa di salah satu lubang bekas tambang di Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara.
Thomas, seorang pekerja perkebunan sawit asal Nusa Tenggara Timur, dilaporkan tenggelam sehari sebelumnya saat berenang di lubang tersebut—yang selama ini kerap dimanfaatkan warga sekitar sebagai sumber air saat musim kemarau.
Tim penyelamat dari Damkar Kukar menemukannya sekitar pukul 12.45 Wita, setelah menyisir lokasi dengan bantuan deteksi sinyal terakhir dari ponsel korban.
Berdasarkan penuturan warga kepada Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Thomas sempat terlihat merekam dengan ponselnya di tengah lubang tambang. Rekannya hanya mandi di tepi, namun Thomas nekat berenang sendiri.
Tragedi ini bukan yang pertama. Pada 16 Desember 2015, seorang siswa SMK juga tewas di lubang tambang milik perusahaan yang sama. Dengan demikian, perusahaan tambang batu bara yang kini berada di bawah salah satu grup perusahaan besar itu telah tercatat dua kali memakan korban jiwa di lokasi bekas konsesinya.
Jatam Kaltim mencatat, sejak 2011 hingga pertengahan 2025, lebih dari 50 orang—baik anak-anak maupun dewasa—tewas di lubang-lubang tambang tak direklamasi di Kaltim. Sebagian besar korban tenggelam di lubang tambang yang tergenang air, tidak berpagar, tidak diberi peringatan, dan berada sangat dekat dengan pemukiman maupun fasilitas umum.
Khusus dalam kasus Thomas, Jatam menegaskan bahwa lubang tempat korban ditemukan hanya berjarak sekitar 50 meter dari jalan publik. Padahal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 dengan tegas menyatakan bahwa tambang terbuka harus berjarak minimal 500 meter dari permukiman.
Tak hanya soal jarak, perusahaan juga dinilai melanggar ketentuan reklamasi. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 serta Pasal 96 Undang-Undang Minerba Tahun 2020 mewajibkan setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melakukan reklamasi dan pascatambang, paling lambat 30 hari setelah aktivitas pertambangan berakhir.
Padahal, masa izin operasi perusahaan tersebut sebagai pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) telah berakhir pada 1 April 2022. Namun, dengan terbitnya UU Minerba 3/2020, perusahaan ini mendapat perpanjangan izin dalam bentuk IUPK hingga 2032.
Atas kelalaian tersebut, Jatam menilai perusahaan dapat dikenakan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian. “Karena tidak menjalankan kewajiban reklamasi, perusahaan turut bertanggung jawab atas kematian Thomas,” tegas Mareta Sari, Dinamisator Jatam Kaltim.
Jatam pun mendesak pemerintah pusat—khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral—untuk mencabut izin lingkungan dan tambang milik korporasi dimaksud.
Evaluasi menyeluruh terhadap seluruh tambang batu bara di Kalimantan Timur juga diminta segera dilakukan, termasuk percepatan reklamasi pada seluruh lubang bekas tambang yang berdekatan dengan pemukiman dan fasilitas umum. (*)