BONTANGPOST.ID, Samarinda – Gratispol yang diusung Gubernur Kaltim Rudy Masud dan wakilnya, Seno Aji mendapat sorotan dari akademisi Universitas Mulawarman (Unmul), Purwadi.
Terutama terkait Gratispol pendidikan tinggi yang sekadar membayarkan uang kuliah tunggal (UKT), seolah melupakan pengeluaran untuk kuliah tak hanya UKT.
Rencana mengejawantahkan janji kampanye Rudy-Seno ini, sebut dia, seperti diskon di mal. Megah ketika digaungkan dan dipampang. Ketika hendak diwujudkan, kecil tak begitu terasa. “Makin ke sini malah makin enggak jelas. Gratis tapi seabrek syaratnya,” katanya, Jumat, 13 Juni 2025.
UU sudah mengatur, mandatory spending untuk pendidikan sebanyak 20 persen dari total APBN/APBD. Pada 2025 ini, APBD Kaltim menyentuh angka Rp 20,1 triliun.
Yang dialokasikan untuk gratispol hanya Rp 750 miliar, jauh dari 20 persen anggaran pendidikan yang diwajibkan.
“Angkanya memang lebih besar dari Kaltim Tuntas. Tapi masih belum menyentuh yang diwajibkan. Logika sederhana saja, 20 persen dari Rp 20 triliun ya Rp 4 triliun,” tukasnya.
Jika pemerintah mengklaim sudah mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai yang diamanatkan, buktikan dengan transparansi. Bukan sekadar klaim.
“Kalau bilang angka itu tak hanya untuk pembiayaan UKT, tapi juga sarpras pendidikan ya paparkan ke publik. Tranparan,” lanjutnya.
Lucunya lagi, pemprov mengatur ambang batas UKT yang bisa dibayarkan dari program berembel-embel gratis ini. Jika UKT mahasiswa melebih ambang batas yang diatur, si mahasiswa harus nombok sisanya.
Serta ada batasan umur atau semester untuk bisa menjadi penerima manfaat dari program tersebut. “Gratis kok pakai syarat dan ketentuan. Ini kebijakan enggak niat, setengah hati,” tambahnya.
Kelucuan program ini tak sampai disitu, skema bantuan pendidikan ini meniru Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP).
LPDP pakai duit sumbangan dan investasi dalam menyalurkan bantuan pendidikan. Sementara pemerintah, duitnya berasal dari duit pajak.
Sesat pikir kian komplit dalam penyusunan bantuan pendidikan ini, ketika pemprov menyebut jika calon mahasiswa yang mendaftar jalur mandiri berarti berasal dari keluarga yang berada.
Padahal, bisa saja, calon mahasiswa mengambil jalur mandiri lantaran gagal di jalur reguler atau prestasi karena dia ingin berkuliah. “Enggak ada jaminan pasti kaya di jalur mandiri. Logikanya mirip pilihan ganda yang semua jawabannya salah,” terangnya.
Purwadi menyatire. Waktu Pilkada, Rudy dan Seno tak pernah berkampanye “pilih kami jika anda miskin”. Semua warga yang punya hak suara disasar.
Tak ada pilih-pilih. Pemilih yang memberi suara ke Rudy dan Seno, sebut dia, percaya dengan pendidikan gratis yang dijanjikan, tanpa seabrek syarat dan ketentuan yang ribet. “Saya yakin, Rudy dan Seno enggak tahu siapa pemilih mereka mana yang kaya atau miskin,” ucapnya.
Ditanya terkait APBD 2025 yang sudah ditetapkan sebelum Rudy-Seno dilantik dan pemusatan ulang anggaran tak bisa maksimal lantaran ada efesiensi? Purwadi berkata.
“Di dunia ini yang enggak bisa diubah cuma ayat di kitab suci, Mas. Batas umur wakil presiden saja bisa diubah. Masa yang begini enggak bisa,” sindirnya.
Kaltim punya 4,27 juta penduduk. Tak semua berkuliah hingga S3. Kalau program itu hanya subsidi UKT, tak perlu pakai kata gratis. Cukup bantuan. Belum lagi, skema pembayaran UKT dari program itu.
Ketika sudah jadwal pembayaran dan pemerintah belum ada anggaran, maka diminta membayar dahulu, nanti diganti lewat Gratispol.
“Pendidikan itu sama dengan listrik, air bersih, dan kesehatan. Kalau pemerintah enggak beres mengurusi ini. Omongan apa pun jelas omong kosong,” tukasnya.
DPRD Kaltim juga tak jelas langkahnya. Lembaga penyeimbang dalam trias politica pemerintahan, sebut Purwadi, malah jadi tim hore. Mendukung program yang penuh keganjilan tersebut.
“Fungsi dewan itu penganggaran. Punya ruang untuk menakar kelogisan program itu. Ini malah ikut tepuk tangan tanpa kritik membangun,” ketusnya.
Pemprov disarankannya perlu menyurvei berapa besaran UKT di kampus-kampus yang sudah bermitra. Lalu hitung detail pembiayaan di setiap perguruan tinggi, bukannya bikin angka sepihak.
Ketika bantuan kurang dan membebankan sisanya ke mahasiswa. “Kalau emang enggak bisa gratis, jangan pakai embel-embel itu biar terlihat keren,” katanya mengakhiri. (kp)