TEMPO.CO, Jakarta – Kepolisian Republik Indonesia atau Polri mendapatkan sentimen negatif dalam kurun 2024. Salah satunya buntut aparat di lembaga penegak hukum tersebut dinilai lambat menangani perkara. Bahkan suatu kasus kudu viral terlebih dahulu baru ditindaklanjuti hingga muncul slogan “No Viral No Justice”.
Fenomena ini membuat Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan seluruh anggotanya agar responsif dalam menangani perkara. Ia mengatakan, semua perkara yang diadukan masyarakat harus dapat ditindaklanjuti selekas mungkin tanpa harus menunggu diviralkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami terus menekankan kepada seluruh personel Polri agar terus melakukan pembenahan, melakukan tindakan yang cepat, melakukan responsif yang cepat tanpa harus menunggu hal tersebut menjadi viral,” kata Listyo Sigit dalam Rilis Akhir Tahun, Selasa, 31 Desember 2024.
Slogan No Viral No Justice muncul untuk menyindir kinerja Polri memang acap mencuat dalam beberapa kurun terakhir. Bukan hanya di 2024, pada tahun-tahun sebelumnya juga marak di mana kasus baru ditangani setelah populer di media sosial. Padahal kasus tersebut telah dilaporkan hingga mengendap sebelum kemudian diangkat warganet dan diramaikan di lini massa.
Tempo merangkum sederet kasus No Viral No Justice dalam beberapa waktu terakhir:
Perundungan seksual pegawai KPI
Pada September 2021 lalu, viral di media sosial seorang pegawai di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS mengaku menerima tindakan perundungan, perbudakan, hingga pelecehan seksual oleh teman-teman kantornya sejak 2012. Kendati ramai pada 2021, MS ternyata telah mengadu ke Kepolisian Sektor Gambir pada 2019
Tapi polisi malah menyuruhnya melapor lebih dulu kepada atasannya agar diselesaikan secara internal. Setahun kemudian, MS kembali melapor ke Polsek Gambir, tapi laporan ini juga tak sesuai dengan harapan. Kasus tersebut baru mendapat perhatian polisi setelah MS menulis surat berisi cerita pelecehan seksual itu, yang kemudian menjadi viral di media sosial Twitter.
Pemerkosaan Tiga Anak di Luwu Utara
Pada 2019, terjadi pemerkosaan terhadap tiga anak di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Namun, saat itu Kepolisian Resor Luwu Utara menghentikan penyidikan kasus ini karena dinilai tidak cukup bukti. Setelah viral di media sosial pada Oktober 2021, kepolisian kembali membuka penyelidikan dugaan pemerkosaan ini.
Pemerkosaan Gadis Disabilitas di Banten
Kasus pemerkosaan pada gadis malang di Serang Banten itu terjadi pada November 2021. Pelakunya adalah EJ (39) dan S (46). Sempat ditangkap namun dibebaskan setelah tersangka serta korban disebut telah berdamai. Kasus ini dibuka kembali setelah dikabarkan di media massa dan mendapat perhatian publik pada Januari 2022. Penyidik yang menghentikan kasus ini kemudian mendapat sanksi, sementara pelaku mendapat hukuman.
Kasus Pembunuhan Vina Cirebon
Kasus kematian Vina Dewi Arsita alias Vina Cirebon dengan pacarnya, Muhammad Rizky yang terjadi pada 2016 silam, kembali viral dengan rilisnya film Vina: Sebelum 7 Hari di bioskop. Viralnya kasus ini membuat polisi meninjau kembali perkara dan langsung menangkap satu tersangka tambahan.
Dia adalah Pegi Setiawan alias Perong pada Selasa malam, 22 Mei lalu. Tak tanggung-tanggung, polisi langsung menyebut pria 27 tahun itu sebagai otak pembunuhan tersebut. Belakangan hakim praperadilan menyatakan Pegi sebagai korban salah tangkap.
Kasus Kematian Afif Maulana
Afif Maulana, bocah 13 tahun yang ditemukan tak bernyawa di bawah Jembatan Kuranji, Padang pada Ahad siang, 9 Juni 2024. Jasad Afif ditemukan mengambang di bawah Jembatan Kuranji dengan kondisi babak belur. Keluarga menduga anak itu menjadi korban penyiksaan oleh polisi. Kasus ini mulai ditangani secara serius setelah viral di media sosial.
Awalnya kepolisian berkilah bahwa anak itu meninggal akibat tawuran tanpa memberikan hasil autopsi kepada keluarga korban. Namun saksi memberi keterangan berbeda. Teman yang memboncengkannya pada Ahad dini hari itu mengatakan mereka berpapasan dengan patroli polisi yang mencegah tawuran di lokasi tersebut.
Polisi menendang sepeda motor mereka dan Afif terpental. Afif sempat berdiri sebelum dikerubungi polisi yang menggenggam batang rotan. Itulah terakhir kalinya saksi melihat pelajar sekolah menengah pertama tersebut. Saksi itu, beserta belasan orang lain, ditangkap, diinterogasi, dan disiksa. Dia disetrum dan wajahnya terkena tendangan dua kali.
Di kantor Polda Sumatera Barat, mereka disuruh berjalan jongkok dan berguling-guling hingga muntah. Dugaan penyiksaan lain berupa sundutan rokok, pukulan tongkat rotan, dan cambukan. Polda Sumatera Barat mengakui adanya penyiksaan tersebut dan 17 anggotanya akan disidang etik. Namun nama Afif tidak ada dalam daftar korban kekerasan polisi itu. Petugas menyebutkan Afif diduga melompat dari jembatan supaya tidak tertangkap.
Masalahnya, luka pada jenazah Afif lebih menunjukkan dugaan bekas benturan benda tumpul ketimbang jatuh dari ketinggian—Jembatan Kuranji menjulang 14 meter di atas Sungai Batang Kuranji yang berbatu. Dari luka lebam di sekujur badan sampai jejak sepatu terdapat di perut korban.
Kasus ini mencuat ke permukaan setelah muncul akun baru di TikTok yang mengatasnamakan Afif Maulana. Akun tersebut memuat video-video kesaksian subuh jahanam di Jembatan Kuranji tersebut. Tempo bersama sejumlah media lokal dan nasional menyebarkannya ke publik. Lucunya, Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono kini memburu orang yang pertama kali mengabarkan kejanggalan kematian Afif.
Dia merasa citra kepolisian dirusak oleh penyebar kabar tersebut. Menurut Tempo, ini jelas rencana yang keblinger. Polisi seharusnya sadar inilah mekanisme mencari keadilan di Indonesia: harus dipopulerkan dulu lewat media massa atau media sosial. Tempo pun dengan gamblang mengaku sebagai pihak yang memviralkan ketidakwajaran kematian Afif.
“Ini pesan Tempo kepada Kepolisian Daerah Sumatera Barat: Kami yang memviralkan kematian Afif Maulana. Dengan demikian, Bapak-bapak polisi tidak perlu bersusah-susah mencari siapa orang pertama yang menyebarkan informasi seputar penyebab terbunuhnya bocah 13 tahun itu,” tulis Tempo saat itu.
Kasus Penganiayaan Pegawai Brandoville
Pegawai CS dalam agensi animasi Brandoville menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh bosnya, Cherry Lai, selama bekerja di tempat itu. CS mengunggah bukti penganiayaan itu di media sosial X dan kemudian unggahan itu menjadi viral. Polisi langsung memulai penyelidikan pada 5 September 2024 setelah CS melaporkan kasus itu atas ancaman pembunuhan.
Kasus Penganiayaan Dokter Koas
Seorang dokter koas, berinisial MLH menjadi korban penganiayaan di sebuah kafe di Jalan Demang Lebar Daun, Palembang pada Rabu, 11 Desember 2024. Polisi langsung memproses kasus ini usai pelaporan dari MLH setelah viral. Terbaru, pelaku penganiayaan sudah ditangkap oleh aparat kepolisian pada 14 Desember 2024.
Kasus Penganiayaan Karyawan Toko Roti
Karyawan toko roti di daerah Cakung, Jakarta Timur menjadi korban penganiayaan saat bertengkar dengan anak pemilik toko tersebut. Pelaporan sudah dilakukan oleh korban pada Oktober. Namun, pihak polisi baru meluncurkan penyelidikan pada Desember usai unggahan korban menjadi viral.
Penganiayaan itu dialami oleh Dwi Ayu Darmawati, 19 tahun. Aksi kekerasan itu terjadi pada 17 Oktober 2024, di toko roti yang berlokasi di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Aksi kekerasan yang terekam dalam sebuah video pendek tersebut pun viral di media sosial.
Krisna Pradipta, Rio Ari Seno, Amelia Rahima Sari dan Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.