Wawancara Mira Lesmana, Riri Riza, dan Leya Princy Soal Rangga & Cinta

2 weeks ago 39

SUTRADARA Riri Riza dan produser, Mira Lesmana kembali menghadirkan semangat film drama remaja Ada Apa Dengan Cinta? (2002) setelah lebih dari dua dekade lewat film musikal Rangga & Cinta. Semangat kedua sineas ini terhadap film musikal diteruskan setelah sebelumnya telah merilis film musikal Petualangan Sherina (2000) dan Petualangan Sherina 2 (2016).

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Logo

Dengan tetap mempertahankan semangat dalam film AADC, Riri dan Mira mengembangkannya melalui karakter Rangga dan Cinta, dengan keputusan memfokuskan film pada nuansa musikal. Hal itu pun membutuhkan proses pembuatan yang berbeda dengan film AADC sebelumnya.

Baru-baru ini, Rangga & Cinta terseleksi dan akan melakukan pemutaran perdana dunia di Festival Film Internasional Busan ke-30, Korea Selatan. Pemutaran perdana film karya sutradara Riri Riza dan produksi Miles Film ini berlangsung pada Kamis, 18 September 2025.

Dalam wawancara bersama Tempo di Kantor Tempo, Jakarta Selatan pada Rabu, 20 Agustus 2025, Riri Riza, Mira Lesmana, dan Leya Princy yang memerankan Cinta, menceritakan proses pembuatan film Rangga & Cinta, pendalaman karakter, pengaturan set, hingga proses penentuan tiap adegan dengan menyandingkan dialog dengan musikal.

Apa alasan kalian, khususnya Miles Films mengangkat cerita dalam Rangga & Cinta lewat rebirth Ada Apa Dengan Cinta? yang dirilis lebih dari dua dekade lalu?

Riri: AADC adalah sebuah film yang sangat khusus bagi kami karena tahun 2000 Miles pertama kali bikin film Petualangan Sherina kemudian film itu diterima cukup baik oleh publik. Film kami yang kedua adalah AADC dan itu diterima hebat oleh publik sehingga menjadi sebuah IP yang sangat berkesan dan sangat berpengaruh terhadap karier kami sebagai sineas maupun sebagai perusahaan. Karena setelah itu kami bisa membuat film yang justru menentang konvensi film laris kebanyakan seperti Gie (2005), Garasi (2006), dan 3 Hari untuk Selamanya (2007).

Saya menyutradarai AADC 2 (2016). Miles selalu percaya bahwa sebuah IP yang kuat itu harus dijaga karena ia sebuah aset penting buat kami baik dalam penggambaran waktu, periode, dan wakil dari sebuah generasi. 

Bagaimana menyiapkan mental para pemeran ketika ada yang membandingkan Rangga & Cinta dengan AADC?

Leya: Kami tahu betapa indahnya AADC, dan betapa banyaknya orang yang mencintai film itu serta efeknya di kehidupan penonton. Jadi yang bisa kami lakukan itu, cuma membangun hal yang baru saja tanpa melupakan atau menggantikan AADC.

Riri: Kami berproses masuk ke dalam cerita dan karakter. Yang muncul sehari-hari adalah, sebuah upaya untuk membangun apa yang tertulis di dalam skenario, termasuk dinamika yang terjadi ketika kami latihan.

Mira: Secara mental juga disiapkan, sudah pasti akan dibandingkan. Itu kami sadar, kami bangun pelan-pelan sampai nanti orang menonton dan bisa melihat langsung seperti apa pemeran di Rangga & Cinta, menjadi apa karakter-karakter dalam film AADC yang sudah dicintai begitu banyak orang. 

Bagaimana bekerjasama dan berproses membangun Rangga & Cinta dengan pemeran yang lebih muda?

Riri: Mereka itu datang dari generasi yang berbeda sama sekali ya cara berhadapan dengan tantangan, berhadapan dengan kesulitan-kesulitan. Cuma yang menyenangkan ada kebaruan. Kami melihat ini sebagai bagian dari membangun dunia cerita, bagaimana membangun dunia yang ada di dalam film. 

Riri: Mereka seperti yang kami bayangkan, bahwa kami ingin membuat sebuah film yang baru. Ketika dia menjadi sesuatu yang punya karakter-karakter sendiri dan itu dibawa oleh keseharian Leya dan El, dan pemain yang lain menghadapi tantangan, bagaimana kehidupan remaja mereka. Itu yang dibawa ke dalam karakternya.

Mira: Pasti terasa nanti ketika menyaksikannya bahwa sensitivitas atau emosinya itu pasti akan ada perbedaan dengan Ada Apa dengan Cinta?, walaupun ceritanya sama, plotnya sama, semuanya sama. Tapi ruang buat musik di sini sangat terbuka, itu menjadi bagian yang kemudian juga mempertebal emosi, yang membuat sensitivitas mereka mau tidak mau harus muncul. 

Lebih sulit mengarahkan film musikal atau film nonmusikal tapi aktingnya intens?

Riri Riza (kiri) dan Mira Lesmana dalam kunjungan media film terbarunya “Rangga & Cinta” di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 20 Agustus 2025. Tempo/Charisma Adristy

Mira: Sebenarnya tidak bisa dipisah-pisah, justru harus saling memiliki semuanya. Tidak ada artinya kalau mereka hanya bisa menyanyi, karena ini sebenarnya bukan sepenuhnya musikal. Kami memang tidak menyebutnya sebagai film musikal, tapi film yang benar-benar punya nuansa musik yang sangat kental. Mungkin mirip kayak Petualangan Sherina, kami menyebutnya sebagai film anak-anak atau film petualangan, tapi punya unsur musikal di dalamnya. Makanya kami mencari pemain yang bisa bernyanyi dan akting. Dulu lagunya ada di belakang mengiringi akting, sekarang lagu itu dinyanyikan oleh karakter. 

Riri: Ini juga bukan sesuatu yang hanya begitu saja terjadi, kalau kita mendengar kembali lagu dari AADC itu banyak yang menggambarkan perasaan tokoh. Hal itu yang meyakinkan kami bahwa ini bisa banget jadi sebuah film dengan nuansa musikal yang lebih kuat.

Apa perbedaan yang mencolok dengan pemeran di Rangga & Cinta dengan AADC?

Riri: Mereka anak sekarang. Jadi sebenarnya film itu, atau sebenarnya kami melihat seni itu harus cerminan hari ini, dan itu yang akan menjadi daya tariknya. Bagaimana kita melihat, bagaimana kita mendengar lagi puisi Chairil Anwar di mata atau di semangat seorang anak remaja hari ini. Itu yang akan kita rasakan.  

Mira: Mungkin kalau dari saya sesimpel, apa yang istimewa? Multitalenta. Talentanya tidak hanya akting, mereka bisa menyanyi, mereka bisa melakukan gerak yang leluasa, dan itu dulu tidak ada. 

Apa saja yang diperhatikan dari detail-detail AADC kemudian dituangkan ke dalam Rangga & Cinta?

Saya pikir ini kisah yang bisa menyatukan berbagai generasi, dan rasanya hari ini kita membutuhkan itu. Tidak memilah-milah Gen Z, Milenial, Gen X gitu. Tapi kita semua punya satu pengalaman bersama. Masa remaja, masa SMA. Itu yang sebenarnya ingin kami bawa kembali. Entah itu menjadi nostalgia buat mereka yang dulu menyaksikan AADC, mengingat kembali seperti apa waktu remaja, dan mimpi apa yang saya miliki waktu remaja dan saya sekarang ada di mana. 

Latar waktunya tetap 2001 berarti, ya?

Latarnya tetap 2001 seperti di AADC. Jadi ini sebenarnya untuk merefleksi kita semua, dan terutama mungkin akan spesial buat milenial.

Seperti apa Leya sendiri belajar mempelajari karakter Cinta?

Leya: AADC itu ternyata bukan cuma tontonan ayah sama mama, tapi juga tontonan orang-orang di generasi aku, dan di bawah aku pun juga masih pada nonton AADC. Jadi hampir semua generasi itu bisa terhubung dengan film AADC. Aku nonton film ini ketika SD. Terus untuk mengerti karakter Cinta, aku diskusi kemudian rasanya seperti kayak membangun dunia yang berbeda, namun perasaannya tetap sama. 

Waktu casting itu Anda menargetkan memerankan Cinta?

Leya: Sewaktu casting langsung baca skripnya Cinta, jadi aku berharap memerankan Cinta. Tapi kalau waktu itu ternyata bukan Cinta juga tak apa. 

Riri: Polanya tak langsung ditunjuk kamu memerankan Cinta. Biasanya mereka datang, terus nanti kita suruh baca Cinta, terus kami lihat dan rasakan. Cuma dia memang langsung baca Cinta.

Seberapa jauh melibatkan Leya ini dalam membangun karakter Cinta?

Mira: Leya sendiri sudah akrab sekali dengan AADC. Dia bahkan hafal dialognya, tahu semua lagunya jadi kami justru terbalik yang menggali sosok Leya ini.

Leya: Dengan adanya pelatih peran dan latihan berhari-hari, jadi aku merasa sudah mengenal karakterku lebih jauh. Aku menyadari ketika belum matang, namun karena banyaknya aktivitas yang kami lakukan di Rangga & Cinta akhirnya aku menemukan diriku sendiri. 

Aktris Leya Princy dalam kunjungan media film terbarunya “Rangga & Cinta” di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 20 Agustus 2025. Tempo/Charisma Adristy

Leya sendiri mencontoh karakternya Dian Sastro memerankan Cinta itu dalam upaya membangun karakter? 

Leya: Saya membangun karakter bareng-bareng dengan pemeran lainnya, jadi kami seperti mulai dari kertas kosong terus kami tulis bersama-sama, kami bangun bersama karakter dan ceritanya. 

Perihal proses penulisan naskah untuk menentukan gaya karakternya seperti apa saja? 

Riri: Tentu saja prosesnya bertahap, kami punya skrip dan skenario yang ditulis Mira dan Titien Wattimena. Pada saat kami reading, masing-masing satu orang memainkan karakternya sendiri-sendiri. Jadi proses itu berjalan terus. Ada irama, ada tone yang ditemukan dan dihilangkan. Ada dialog yang disesuaikan. Saya merasa film AADC sudah hidup jadi tidak perlu dilihat lagi tapi tak dilupakan juga dalam penggarapan Rangga & Cinta ini. Cuma bagaimana kamera bergerak hari ini, bagaimana pencahayaan bergerak, dan set desain.

Rangga & Cinta penuh dengan nuansa musikal, bagaimana cara sutradara menyampaikan musiknya ke dalam bingkai cerita?

Mira: Kami memutuskan untuk menjadikan musik sebagai sentral di dalam cerita dan juga pembangunan karakternya. Kami ingin sekali terasa nyata semua emosinya sehingga sebagian besar dari bagian yang mereka nyanyikan itu secara langsung di set saat syuting. Ini tentu membutuhkan teknik yang ekstra sehingga kami perlu melatihnya bersama-sama.

Seperti apa prosesnya untuk menentukan penempatan bagian antara musikal dan dialog?

Mira: Harus mundur sedikit, kalau mendengarkan lagu-lagu AADC itu sebenarnya menggambarkan kondisi tiap karakter. Dari situlah sebenarnya inspirasi musikal atau bagaimana lagu-lagu ini bisa masuk ke dalam cerita dan itu dituliskan dulu menjadi skrip. Kemudian diolah menjadi lagu oleh Melly Goeslaw dan Anto Hoed.

Selain aransemen kami juga membangun koreografi seperti tahun 2001 atau hari ini. Ternyata yang penting energinya jadi kami berangkat dari energinya dulu. 

Leya, kesulitan apa saja yang didapatkan saat syuting harus bernyanyi langsung sembari akting?

Leya: Ada beberapa saat aku merasa kurang maksimal karena perasaannya bukan seperti bernyanyi di panggung atau saat mandi. Aku perlu memastikan terhubung saat nyanyi dengan karakter yang aku perankan.

Lalu bagaimana cara membangun karakter di lokasi syuting ketika sudah melihat set lokasi?

Leya: Setiap sudut dari kamarku itu seperti punya ceritanya masing-masing jadi sudah sangat membantu untuk membangun suasana dan pendalaman karakter, untuk adegan yang mau aku mainkan. 

Riri: Teknik penulisan skenario musikal juga mempengaruhi itu karena dalam film ini lagu itu dihidupkan ke dalam peristiwa. Bisa menentukan titik di mana karakter menumpahkan perasaannya lewat lagu. Pemeran di sini berperan sebagai pelantun perasaan jadi seperti bukan sekadar bernyanyi. ]Film itu alaminya bukan seperti di panggung karena harus mengikuti set sesuai arahan sutradara. Ketika kameranya pindah kami cut dulu. Saya senang dalam prosesnya saat menyambungkan adegan-adegan itu. 

Mira: Mungkin yang berat itu misalnya pemeran dilatih dulu di studio bersama pelatih vokal dan koreografernya. Kemudian pada saat syuting dan bernyanyi langsung itu harus dipotong-potong ya karena angle-nya ganti-ganti jadi tak bernyanyi full.

Read Entire Article
Batam Now| Bontang Now | | |