Bisnis.com, JAKARTA — Memasuki 1 tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pelaku industri menilai arah kebijakan mulai pro terhadap manufaktur, meskipun eksekusinya dinilai lambat.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan, langkah pemerintah sudah berada di jalur yang benar. Namun, implementasinya masih belum optimal.
“Satu tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo memberi arah yang pro-manufaktur, tetapi hasil akhirnya akan ditentukan oleh kecepatan eksekusi reform biaya produksi, kepastian insentif fiskal, fleksibilitas likuiditas eksportir, dan strategi pembukaan pasar,” ujar Sobur kepada Bisnis, Kamis (16/10/2025).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), laju pertumbuhan industri furnitur kontraksi di level -0,05% (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2025 atau turun dari periode yang sama tahun sebelumnya -0,66% yoy.
Meskipun kinerja lesu, industri padat karya yang berorientasi ekspor ini mencatatkan nilai ekspor sebesar US$1,59 miliar pada Januari-Agustus 2025, naik tipis dari periode yang sama tahun lalu US$1,54 miliar.
Kendati demikian, sejak awal tahun ini, pihaknya merasakan kelesuan pesanan ekspor imbas sentimen pengenaan tarif Trump terhadap produk Indonesia yang saat ini bertambah 19%.
Sejumlah negara tujuan ekspor juga lebih tampak makin protektif atas barang impor. Alhasil, pangsa pasar furnitur Indonesia di pasar global turun dari 3,47% pada 2021 ke 2,37% pada 2024 dengan ketergantungan tinggi pada pasar AS.
“Artinya, sekalipun insentif ada, daya saing harga atau lead time dan diversifikasi pasar masih jadi pekerjaan rumah,” tuturnya.
Di samping itu, Sobur menilai saat ini pemerintah sudah berada di arah kebijakan fiskal yang tepat dengan mempertahankan super-deduction untuk pelatihan vokasi hingga 200% dan riset dan pengembangan hingga 300%.
“Namun, implementasi di lapangan perlu dipermudah agar utilisasinya naik,” imbuhnya.
Lebih lanjut, pihaknya melihat peluang pemulihan pangsa ekspor dalam 12-24 bulan jika biaya produksi atau logistik turun, desain dan kualitas produk ditingkatkan masif.
Tak hanya itu, pengusaha juga perlu melakukan diversifikasi pasar dan lead time dipangkas lewat pembenahan rantai pasok domestik. Oleh karena itu, peran pemerintah menjadi penting.
“Tanpa gebrakan di sektor biaya dan akses pasar, target itu berisiko tidak tercapai,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai performa industri manufaktur masih belum mampu menjadi lokomotif ekonomi nasional.
“Angka pertumbuhan manufaktur masih setara dengan pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi di bawah 20%. Artinya, sektor ini belum mampu mendorong ekonomi secara signifikan,” ujarnya, dihubungi terpisah.
Redma juga menyoroti lemahnya perlindungan pasar domestik akibat membanjirnya impor dumping dan ilegal. Kondisi ini membuat industri lokal tak memiliki pasar yang besar di dalam negeri.
“Masalah utama industri manufaktur adalah ketidaktersediaan pasar karena produk dalam negeri kalah bersaing dengan barang impor dumping dan ilegal. Sayangnya, belum ada kebijakan yang langsung menyelesaikan masalah ini,” tegasnya.
Meski begitu, dia menilai langkah Presiden Prabowo Subianto mengganti dirjen Bea Cukai dan menteri keuangan memberi harapan baru.
“Ini langkah positif, terutama jika fokusnya pada pemberantasan impor ilegal, tapi tidak cukup kalau impor legal berharga dumping masih dibiarkan,” tuturnya.
Redma optimistis bila dua persoalan impor tersebut bisa ditangani, maka target kontribusi manufaktur di atas 20% sangat mungkin dicapai.