Bisnis.com, JAKARTA — Perbankan di Indonesia tak henti berupaya mewujudkan karbon netral atau net zero emission (NZE) pada 2060 sesuai target Pemerintah Indonesia hingga melunasi Perjanjian Paris.
PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) menjadi salah satu bank yang bergeliat mewujudkan emisi nol bersih melalui berbagai cara. Direktur Compliance, Corporate Affairs & Legal Bank CIMB Niaga Fransiska Oei mengatakan salah satu langkah yang diambil perseroan adalah dengan getol menyalurkan kredit hijau.
Per Juni 2025, total portofolio kredit atau pembiayaan Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KKUB) yang disalurkan CIMB Niaga sebesar Rp57,6 triliun atau hampir 25% dari total portofolio kredit bank. Di antara portofolio kredit atau pembiayaan berkelanjutan itu, sebagiannya disalurkan ke segmen usaha yang memperhatikan aspek lingkungan.
Penyaluran kredit misalnya menyasar kegiatan usaha lainnya dan/atau kegiatan berwawasan lingkungan, pengelolaan sumber daya alam hayati dan pemanfaatan lahan berkelanjutan, produk yang dapat mengurangi pemanfaatan sumber daya dan menghasilkan lebih sedikit polusi alias ekoefisien, transportasi ramah lingkungan, bangunan hijau, hingga efisiensi energi.
Adapun, portofolio pembiayaan KKUB CIMB Niaga itu telah tumbuh sebesar 2,1% secara tahunan (year on year/yoy).
“CIMB Niaga senantiasa mendukung dan mendorong nasabah di seluruh sektor untuk bertransisi dan memulai perjalanan keberlanjutan menuju ekonomi rendah karbon,” kata Fransiska Oei kepada Bisnis pada Jumat (5/9/2025).
Dia menjelaskan CIMB Niaga senantiasa berkomitmen mendukung pembiayaan proyek berkelanjutan dan transisi energi, sebagai bagian dari strategi bank untuk mencapai target emisi nol bersih CIMB Group pada 2050, sekaligus mendukung target emisi nol bersih Pemerintah Indonesia pada 2060.
Tak hanya itu, CIMB Niaga terlibat dalam perdagangan Bursa Karbon Indonesia. Pada Januari 2025, CIMB Niaga berpartisipasi dalam peresmian Perdagangan Internasional Perdana Unit Karbon Indonesia melalui Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) di Jakarta.
Langkah ini menjadi kelanjutan peran CIMB Niaga yang sebelumnya tercatat sebagai pembeli unit karbon pertama saat peluncuran Bursa Karbon Indonesia pada September 2023.
“CIMB Niaga akan terus berpartisipasi aktif sebagai pembeli unit karbon,” kata Fransiska Oei.
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, bank memang melihat kesadaran untuk bertransisi menuju ekonomi rendah karbon yang terus mengalami peningkatan.
Peluang kemudian ditangkap oleh bank dengan menawarkan berbagai macam produk atau program kepada nasabah dan masyarakat, seperti green mortgage, solar panel financing, green auto (environmentally-friendly vehicle financing), sustainability linked loan, sustainable financing program, dan lainnya.
Produk dan program tersebut menjadi sarana bagi nasabah untuk memulai perjalanan mereka menuju ekonomi yang lebih rendah karbon.
“Selain itu, kami meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan untuk mendukung operasional berkelanjutan dengan pemasangan panel surya di salah satu kantor cabang kami di Yogyakarta pada bulan Juni 2025,” ujar Lani dalam keterangan tertulis pada beberapa waktu lalu.
CIMB Niaga pun menjalin kemitraan strategis dengan United Nations Environment Programme (UNEP) dan United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women).
Kolaborasi ini dikoordinasikan oleh Basel Agency for Sustainable Energy (BASE Foundation), organisasi non-profit Swiss dan partner khusus UNEP yang ditunjuk sebagai perwakilan agensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Melalui program tersebut, CIMB Niaga menerima dana hibah yang akan digunakan untuk mensubsidi pembiayaan energi berkelanjutan bagi usaha kecil menengah (UKM) yang memenuhi kriteria inklusi gender q serta sosial.
CIMB Niaga juga akan memberikan pembiayaan bersubsidi penuh untuk implementasi solusi energi bersih dan berkelanjutan, seperti pembangkit listrik tenaga surya, biogas, kendaraan listrik, serta peningkatan efisiensi energi.
“Inisiatif tersebut memperkuat komitmen CIMB Niaga dalam mendukung pemberdayaan ekonomi wanita, memperluas keuangan inklusif, serta mendorong transisi menuju ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan,” tutur Lani.
Segendang sepenarian, otoritas keuangan di Tanah Air pun tengah berupaya mendorong fungsi perbankan dalam membantu mewujudkan emisi nol bersih.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) misalnya telah menerbitkan sejumlah panduan seperti Climate Risk Management & Scenario Analysis (CRMS) yang disebut dapat membantu perbankan dalam menilai ketahanan model bisnis terhadap dampak perubahan iklim.
Selain itu, terdapat pula Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 2. Taksonomi ini berfungsi sebagai panduan bagi sektor keuangan dalam mengidentifikasi dan mengalokasikan pembiayaan ke proyek-proyek hijau dan berkelanjutan.
OJK pun berencana untuk meluncurkan TKBI versi 3 pada 2026 dengan perluasan sektor cakupan antara lain industri pengolahan, waste management, dan sektor agrikultur secara menyeluruh.
“Ke depan, OJK berkomitmen akan terus mendorong perbankan dalam menerapkan kebijakan yang selaras dengan standar internasional, khususnya dalam aspek pelaporan dan pengungkapan berkelanjutan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae pada beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan bahwa perbankan nasional sejauh ini telah memperlihatkan komitmen yang kuat dalam mendukung pembiayaan hijau dan penerapan prinsip environmental, social, and governance (ESG).
“Tren peningkatan kredit/pembiayaan hijau diproyeksikan akan terus meningkat, seiring dengan dukungan perbankan terhadap target NZE Indonesia pada 2060 atau lebih cepat,” ujar Dian.
Perjanjian Paris
Upaya perbankan mendorong emisi nol bersih itu memang sebagai bagian dari gotong royong agar Tanah Air mampu berlari melunasi Perjanjian Paris.
Perjanjian tersebut merupakan kesepakatan mitigasi perubahan iklim internasional yang tercetus pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015. Tujuannya adalah membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dari era pra-industri, dengan posisi idealnya hingga 1,5°C.
Dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC), Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upayanya sendiri, dan hingga 41% dengan bantuan internasional pada 2030.
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani pun telah menegaskan bahwa komitmen itu masih dipegang teguh pemerintah. Dia lantas mengingatkan bahwa penting bagi Indonesia untuk memastikan komitmennya lunas.
Sebab bila tidak, pada akhirnya hal ini juga dapat menjadi bumerang yang bisa menghentikan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Dia menjelaskan bahwa mengacu laporan salah satu institut di Swiss, dunia akan kehilangan potensi ekonomi hingga 10% jika Perjanjian Paris tidak tercapai.
Data dari Asian Development Bank bahkan menyebut dampak yang dimaksud Sri Mulyani akan mulai pelan-pelan segera terasa. Mereka memperkirakan bahwa pada 2023 saja misalnya, perubahan iklim dapat memangkas potensi Indonesia sebesar Rp112,2 triliun, atau setara 0,5% produk domestik bruto (PDB).
Untuk catatan, Indonesia telah menyatakan komitmen pengurangan emisi dengan melibatkan sektor energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, dan kehutanan.
Geliat negara mewujudkan emisi nol bersih itu kemudian menghadirkan ragam peluang. Data Bloomberg memproyeksi pasar ESG global diproyeksikan mencapai nilai sekitar US$53 triliun, atau lebih dari Rp840 kuadriliun pada 2025. Proyeksi ini, di satu sisi, makin mempertegas bahwa praktik ESG adalah keniscayaan.
International Finance Corporation (IFC) pun mengestimasi bahwa terdapat lebih dari US$23 triliun peluang investasi pada sektor hijau dan terkait iklim.
Adapun, proyeksi-proyeksi itu mengindikasikan bahwa sektor jasa keuangan akan berperan tidak kalah krusial. World Economic Forum (WEF) dalam pertemuan tahunan di Davos, 2022 lalu misalnya menitipkan harapan besar.
Mereka mengekspektasikan bank menjadi garda terdepan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Ini lantaran industri jasa keuangan diperkirakan akan menyumbang 72% dari total potensi dampak keuangan akibat tren ESG.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira pun sepakat. Bhima menilai bentuk pendanaan hijau perbankan memiliki peluang yang sangat besar.
“Ceruk pasarnya sangat terbuka, tapi memang untuk membuat cost of financing lebih murah perlu kerja keras,” katanya kepada Bisnis.
Akan tetapi, verifikasi pembiayaan hijau, termasuk key performances indicator (KPI) yang sesuai dengan ESG standar masih cukup mahal. Akhirnya pembiayaan hijau masih terbatas dan cenderung dinikmati debitur besar karena lebih siap comply dengan berbagai persyaratan tadi.
Bhima kemudian menyarankan agar perbankan mulai berani melihat sejumlah peluang kredit inovatif lainnya. “Misalnya, bisa lewat paylater kepada konsumen yang mau membeli produk rendah karbon.”
Peluang lain yang menurutnya menarik adalah kemungkinan intervensi bank lewat skema green supply chain financing. Ini, menurutnya, akan mendorong potensi penyaluran pembiayaan kepada perusahaan yang terikat dengan rantai pasok hijau.
“Contohnya perusahaan di sektor pupuk organik yang mensuplai pupuk ke perkebunan dengan standarisasi lingkungan yang baik, maka berhak mendapat fasilitas pembiayaan hijau dengan bunga rendah,” pungkasnya.
Ragam Tantangan
Kepala Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menyampaikan bahwa di Indonesia, penyaluran kredit berkelanjutan, terutama kredit hijau sudah mulai bergeliat disalurkan oleh perbankan. Tentu, dengan secara selektif atau tetap memperhatikan manajemen risiko.
“Namun memang untuk mencapai target NZE masih butuh komitmen ekstra dan dorongan ekstra sehingga bank dan lembaga keuangan dapat berkontribusi lebih besar lagi,” ujar Trioksa.
Tantangan lainnya adalah dukungan likuiditas dan regulasi yang dapat diterima oleh bank agar bank dapat lebih besar lagi membiayai energi hijau.
Pengamat Perbankan Arianto Muditomo juga mengatakan tren penyaluran kredit hijau di perbankan Indonesia memang terus meningkat, terutama di bank-bank besar yang lebih siap dengan kebijakan dan kapasitas modal.
“Namun, porsinya masih terbatas dan belum merata karena sebagian bank masih berhati-hati menyalurkan ke sektor baru yang dianggap berisiko,” tutur Arianto.
Selain itu, Arianto mengatakan tantangan lainnya yang dihadapi perbankan dalam menyalurkan kredit berkelanjutan terutama kredit hijau terletak pada keterbatasan proyek hijau yang layak, risiko teknologi baru, kapasitas asesmen bank yang masih terbatas, serta perlunya harmonisasi standar dan pelaporan.